
Barakata.id – Menjawab pertanyaan ini, penulis akan melihatnya dari dua perspektif mendasar, yaitu “perspektif keilmuan dan perspektif hukum positif.”
Dalam tradisi ilmu pengetahuan dikenal istilah carving nature at its joints yang bermakna bahwa potongan setiap kajian keilmuan itu tidak bisa dilakukan sesuka hati,tapi harus mengikuti kaidah alamianya. Misalnya pohon itu dikelompokkan kedalam kajian bio (hidup) yang dikaji secara ilmiah (logos), yang kemudian populer dalam istilah Biologi.
Tapi ketika pohon itu ditebang dan dijadikan meja atau kursi kayu, maka kajian keilmuaannya bukan lagi pada Biologi tetapi berpindah kekajian Art (seni) hingga kepada kajian Budaya atau kelompok kajian Sosiologi. Meja, kursi dan lain sebagainya yang berbahan dasar kayu tidak bisa lagi dikaji dalam Biologi, meskipun awalnya atau sumber dasarnya adalah kayu dalam kajian Biologi.
Baca juga: Rupbasan di Belantara Opini
Hal ini dikarenakan hilangnya unsur tumbuh pada kayu yang telah ditebang. Dengan kata lain, kayu yang telah ditebang dan diolah menjadi bentuk lain telah kehilangan variabel utama dari kajian Biologi, yaitu unsur tumbuh. Sama juga halnya hewan yang masih memiliki napas, dikaji dalam Biologi.
Tapi ketika hewan itu kehilangan napasnya, meskipun masih dalam wujud dan bentuk aslinya kajian keilmuannya berubah menjadi kajian taksidemi (seni pengawetan dan pengolahan jasad). Simpulnya ada pada variabel atau dzat tumbuhnya, bukan pada bentuk atau wujud awalnya (eksistensi fisik), tapi pada pehidupannya. Kondisi inilah yang lazim juga disebut aporisma.
Pergeseran potongan secara alami ini berlaku juga terhadap pengelompokan-pengelompokan rumpun hukum dan humaniora, termasuklah didalamnya kajian terhadap ilmu Pemasyarakatan.
Pada perspektif hukum positif, legal formal Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) ditempatkan di dalam UU.No.8 tahun 1981 utamanya pada pasal 44, kemudian di perkuat dengan PP.No 27 tahun 1983 utamanya pada pasal 26, dan dipertegas operasionalnya pada Kepmenkumham-RI, No, 16 tahun 2014.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang dalam perspektif penulis jelas menempatkan Rupbasan dalam kelompok kajian Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan sebagaimana yang kita pahami sebagai sebuah konsep pelaksanaan Pidana Penjara secara sistemik, merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tidank pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.
(UU.No.12 tahun 1995). Narasi tentang Pemasyarakatan ini kemudian melangalami semacam difusi dalam UU.No.22tahun 2022, karena kemudian Pemasyarakatan disebut sebagai Subsistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum dibidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan.
Baca juga: Meta Pemasyarakatan
Pada sisi lain Pemasyarakatan sebagai sistem dimaknai sebagai suatu tatanan mengenai arah dan batas serta metode pelakasanaan fungsi Pemasyarakatan.
Dalam dua undang-undang diatas tidak satupun yang secara eksplisit menyinggung atau memuat fungsi atau tugas Rupbasan. Hal ini dengan mudah penulis bisa pahami, karena memang pada esensi pengelompokan kajian ilmiah (carving nature) Rupbasan tidak menjadi bagian dari kategori Pemasyarakatan yang mengusung aporisma “Membangun manusia mandiri”.
Dari dua pendekatan argumentatif ini penulis dapat melihat keterhubungan atau alasan rasional science kenapa Rupbasan tidak termaktub didalam Undang-Undang No.22 tahun 2022, bahkan tidak termaktub juga didalam Undang-Undang No.12 tahun 1995, yaitu:
- Aporisma Pemasyarakatan adalah “Membangun Manusia Mandiri”. Dalam aporisma ini jelas termuat bernas dari esensi sistim Pemasyarakatan adalah manusia atau memanusiakan manusia atau membangun ulang keterhubungan antara manusia. Dimana pada sisi yang berseberangan adalah pelanggar hukum (narapidana), dan pada sisi lainnya adalah masyarakat (comunal).
- Carving nature, pengelompokan kajian ilmu pengetahuan ilmiah haruslah berdasarkan unsur kealamiaanya. Artinya tidak bisa dikelompokkan sesuai keinginan semata, melainkan harus melihat juga kealamian pengelompokan tersebut. Dalam konteks Rupbasan yang mengelola Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara, berfokus pada pemeliharaan benda-benda dalam makna benda yang tidak bernyawa (bukan manusia). Hal ini menunjukan bahwa ada gradasi yang sangat kontras dari Aporisma Pemasyarakatan, yang berfokus pada manusia (membangun manusia mandiri). Namun kenyataan praktis hukum menempatkan Rupbasan dalam Pemasyarakatan.
Kondisi ini menjadi semacam paradoksal operasional. Dan ajaibnya semua komponen bangsa membiarkan itu terjadi hingga hari ini.
Jika kondisi ini penulis sikapi secara apollogis, argumen yang paling mungkin digunakan adalah “kehendak dari penguasa”. Kehendak penguasa ini sesungguhnya telah disesuaikan dengan pengelompokan secara alami.
Hal ini tersirat dalam UU.No.22 tahun 2022 pada Bab I, pasal 1 poin 1, menerangkan bahwa Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana yang lenyelenggarakan penegakan hukum dibidang perlakuan terhadap tahanan,anak,dan warga binaan.
Jika hal ini dikaji dengan sungguh-sungguh, maka aporisma Pemasyarakatan bisa digeser dari Membangun Manusia mandiri, menjadi Perlakuan Hak Asasi Manusia. Dengan perubahan aporisma maka Rupbasan secara Carving nature at it’s joints dapat terkategori kedalam kajian Ilmu Pemasyarakatab secara alami.
Hal ini berlandaskan pada prinsip dasar pemidanaan kita yang menjunjung tinggi Hal Asasi Manusia. Baurannya ada pada Pemberdayaan Hak Asasi Manusia, karena didalam benda-benda yang dikuasasi oleh setiap individu melekat hak-hak dasarnya. Milsalnya setiap orang orang berhak atas kepemilikan benda untuk memudahkan menjalani kehidupannya. Dengan perspektif lain dapat dikatan sebagai Hak keperdataan dalam kajian hukum.
Baca juga: “Akrobat Pemikiran” DPR Mengesahkan RUU Pemasyarakatan Menjadi Undang-Undang
Sebagai kajian akhir tulisan ini, penulis mengutipkan kitab sajaratul ma’arif pada bab Babu zikir rojal manakiban nafsi, yang menerangkan bahwa terkadang orang itu perlu mengumumkan siapa dirinya dengan menyebutkan kelebihan/keahlian dirinya dengan maksud memaklumatkan kepakaran/keahliannya (menyombongkan dirinya).
Kutipan akhir ini untuk mengingatkan kepada semua pihak bahwa amanat Undang-Undang No.8 tahun 1981 Rupbasan menjalankan fungsi penyimpanan benda sitaan negara.