Barakata.id, Catatan – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dalam rapat paripurna ke-28 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, mengesahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemasyarakatan menjadi Undang-Undang. Pengesahan itu diambil saat pembicaraan tingkat II Rapat paripurna di Nusantara II, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 7 Juli 2022.
Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel, dan dihadiri Ketua DPR RI Dr.(HC) Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus, Undang-Undang yang terdiri dari sembilan bab dan 99 pasal itu, tidak satupun yang memuat konsesus tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).
Mencermati fenomena ini, penulis melihat sebuah titik cerah bahkan sangat cerah untuk pengurusan dan kepengurusan Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara Kedepan.
Sebagaimana telah masif kita ketahui bahwa sejak tanggal 31 Desember 1981, melalui Lembaran Negara nomor 76 diterbitkanlah Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya pada pasal 44 hingga 46. Dan dua tahun kemudian, tepatnya pada 01 Agustus 1983 disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor: 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Hal ini kemudian ditegaskan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Bahkan pada 25 Juni 2014 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Dari rentetan peristiwa sejarah ini, sulit untuk mengatakan bahwa kepengurusan atas Benda Sitaan dan Barang Rampasan itu belum jelas. Bahkan dari perjalanan sejarah 41 tahun (1981-2022), Kementerian Hukum dan HAM-RI yang mengelola Rupbasan telah menorehkan berbagai pengakuan baik itu administrative maupun eksistensi kelembagaan.
Pengakuan-pengakuan administrative dapat dilihat dari persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atas satuan-satuan kerja Rupbasan yang tersebar diseluruh wilayah Republik Indonesia, berikut pengangkatan pejabat-pejabat Rupbasan, Mulai dari Unit Pelaksana Teknis hingga kantor wilayah dan tingkat pusat. Bahkan dalam satu dasawarsa terakhir hampir 50 persen dari jumlah Rupbasan telah meraih WBK, bahkan ada yang meraik WBBM.
Pengakuan eksistensi kelembagaan bisa dilihat dari Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang dilakukan antara Aparat Penegak Hukum termasuk PPNS pada instansi atau lembaga pemerintah, dalam hal pengurusan dan pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara. tidak hanya sampai disitu, bahkan peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) penaksir Basan-Baran terus dilakukan guna memastikan nilai keekonomian dari setiap Basan-Baran yang berada di Rupbasan.
Dengan tidak dimuatnya Rupbasan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru ini, penulis melihat sebuah akrobat pemikiran yang mungkin masih dipandang belum tepat waktu untuk dikemukakan ke publik.
Ketika Polri, Kejaksaan, bahkan BP-POM, dan BNN serta Lembaga Negara yang lain “masih” mengurus dan mengelola sendiri Benda dan Barang Rampasan, itu merupakan variable penting dari sebuah pelembaga secara otonom. Artinya Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara ini, akan dikelola, diurus, ditangani, dan mungkin juga dimanfaatkan oleh sebuah lembaga tersendiri yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia.
Keberadaan Lembaga atau Badan khusus penangan atas Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara ini penulis pikir akan lebih maksimal dalam penggunaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara tersebut. Karena semua unit/satuan/direktorat pada masing-masing Instansi Pemerintah yang kini mengurus Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara, akan bergabung menjadi satu dibawah komando dan kendali Presiden.
Penulis melihat sebuah kekuatan ekonomi dalam penyatuan kepengurusan dan pengelolaan Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara. Dengan otonomnya pengelolaan dan pemanfaatan Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara, maka akan semakin jelas alur dari semua piranti tindak pelanggaran hukum. Setiap Aparat Penegak Hukum (APH) yang menangani tindak pelanggaran Hukum, akan menyerahkan Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara, kepada Lembaga/Badan Khusus Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara. Jadi tidak ada lagi Aparat Penegak Hukum (APH) atau pihak manapun yang mengurus Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara. Semuanya terpusat pada Badan Pengelolaan dan Pemanfaatan Benda sitaan dan Barang Rampasan Negara (BPP-Basan Baran).
Baca artikel menarik lainnya di : Catatan Dr.Surianto
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat malam bapak. Izin memperkenalkan diri Taruna Madya Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Angkatan 56
Nama : Keny Admirad
STB : 4518
Prodi : Teknik Pemasyarakatan A
Izin memberikan komentar terhadap tulisan diatas. Sangat disayangkan mengenai Keputusan untuk tidak menyertakan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Seharusnya ada Penataan kembali Rupbasan dalam undang-undang atau regulasi karena memiliki urgensi dalam rangka memastikan bahwa proses penyitaan, penyimpanan, dan pengelolaan barang-barang bukti berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Ini juga berperan dalam mendukung efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak-hak individu yang terlibat dalam proses hukum. Jika ada kebutuhan atau kekhawatiran terkait penyitaan dan penyimpanan barang-barang yang disita oleh pemerintah, ini mungkin menjadi subjek untuk dievaluasi dan dibahas dalam kerangka hukum yang ada atau melalui amendemen atau perubahan dalam undang-undang yang relevan sehingga keberadaan rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan) semakin diperhatikan
Eksistensi rupbasan sebagai lembaga negara yang memiliki peran yang esensial menyimpan dan merawat basan dan baran sudah sepantasnya mendapatkan kedaulatan tunggal dalam mengelola basan dan baran agar tidak menimbulkan penyimpangan dan pelangaran hukum dalam pelaksanaannya. Dewasa saat ini, para lembaga penegak hukum memiliki tempat penyimpanan basan dan baran sendiri, sehingga ini telah melanggar amanat dari KUHAP tentang fungsi Rupbasan itu sendiri.
Saya sangat setuju dengan pemikiran bapak penulis,menurut saya juga sudah sangat jelas bahwa peningkatan Rupbasan dalam negara ini sudah menuju ke arah yang lebih baik dengan peningkatan SDM maupun administrasi. Sangat disayangkan dengan tidak adanya Rupbasan di UU Pemasyarakatan terbaru membuat barang barang sitaan menjadi sangat rancu terkait keadaannya. Dengan adanya Rupbasan membuat barang sitaan menjadi terpusat tarkait perawatan dan ketersediaannya serta pertanggung jawabannya terhadap pemimpin negara jelas yang akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat (publik) terhadap pemerintah menjadi meningkat.
Semoga ada, Badan Pengelolaan Barang dan Benda Rampasan Negara…
Komentar ditutup.