Barakata.id – Meta dalam tradisi bahasa Yunani bermakna “lebih dari” atau “melampaui”, yang dalam vocabolary bahasa Inggris disebut beyond (melampaui). Penggunaan kata Meta sudah masif digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan, guna menggambarkan sesuatu yang diperluas atau melampaui. Misalnya Meta Fisika yang secara konotatif melukiskan pemahaman yang melampaui amatan fisik. Hingga perbincangan tentang metaverse yang dimulai sekitar akhir Oktober 2021 lalu ketika Facebook resmi berganti nama menjadi Meta, sebagai tekad memasuki bisnis baru teknologi digital yang berbasis virtual and augmented reality (VR/AR).
Penambahan kata Meta menjadi penanda atau isyarat sesuatu itu diperluas atau melampaui dari apa yang selama ini berlangsung. Demikianlah posisi yang sudah semestinya diambil oleh Pemasyarakatan yang selama ini mengelola Rupbasan, tapi tidak termuat dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Dalam awal lahirnya konsep dan istilah Pemasyarakatan di Indonesia, dimaknai sebagai sebuah cara perlakuan terhadap pelanggar hukum yang dikurung dalam ruang tertentu untuk jangka waktu tertentu. Orang-orang yang dikurung itu awalnya disebut dengan orang yang dipenjara. Sejak tahun 1964 ketika Sahadjo, SH yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Dalam pidato pengukuhan itulah dengan tegas dihadapan presiden Soekarno, Sahardjo mengemukakan istilah Pemasyarakatan sebagai pengganti istilah Penjara, yang dipandang tidak manusiawi dan kental dengan aroma feodalisme kolonial.
Fundamental dalam konsep Pemasyarakatan
Hal yang menjadi fundamental dalam konsep Pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Dr (Hc) Sahardjo, SH ini adalah aphorism “Membangun manusia mandiri” yang kemudian disusul dengan adagium “Dari sangkar ke sanggar”. Ketika konsep perlakukan penjara, orang-orang terpenjara itu diibaratkan berada dalam sangkar yang hanya menghabiskan waktu dengan boros tanpa menghasilkan karya yang berarti, baik buat dirinya terlebih lagi buat bangsa dan negara. Sehingga adagium sangkar itu dirobah menjadi sanggar dalam konsep Pemasyarakatan, dengan makna berlatih diri di dalam sanggar guna menghasilkan karya yang berarti.
Seiring dengan perguliran waktu yang terus merangkai dengan pesatnya perkembangan peradaban manusia, Kementerian Kehakiman (Kementerian Hukum dan HAM) melalui Kepmen. Kehakiman Nomor: M.04-PR.07.03 tahun 1985 yang merupakan pelaksanaan amanat dari pasal 26 PP No.27 tahun 1983, sebagai ejawantah dari UU No 8 tahun 1981, khususnya pasal 44. Melaksanakan penyimpanan Benda Sitaan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Namun dalam UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah diperbaharui menjadi UU No 22 tahun 2022, sedikitpun tidak memuat Rupbasan.
Kondisi ini bisa penulis pahami secara sciencie, karena aphorism dari konsep Pemasyarakatan yang dicetuskan oleh Dr (Hc) Sahardjo, SH pada tahun 1964 itu adalah membangun manusia mandiri. Disinilah problem dasarnya, yaitu problem pada pengelompokan. Dalam filsafat ilmu dikenal dengan carving nature at is joins, yaitu pengelompokan ilmu berdasarkan cacahan (penggalan) berdasarkan sambungannya.
Pengelompokan/cacahan ini diperlukan guna memuluskan pergerakan dari ilmu itu, dalam hal ini ilmu Pemasyarakatan. Sebab asumsi-asumsi menjadi sangat perlu dalam menjalankan dan mengembangkan sebuah ilmu. Mengelompokkan/mencacah ilmu Pemasyarakatan sebagai bagian dari gejala yang ada dalam masyarakat Indonesia, sebagai sebuah kajian yang berkait atau dikaitkan dengan penegakan Hak Asasi Manusia.
Seorang pelanggar hukum yang kemudian dipidana hilang kemerdekaan bergerak, menjalani pidananya dalam lapas dan benda yang digunakan atau hasil dalam tindak pidana tersebut disimpan di Rupbasan. Pengelompokan inilah yang menjadikan Rupbasan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lapas. Agar pengelompokan ini berlajan dengan baik dan tidak menabrak kaidah-kaidah filsafat ilmu, maka Pemasyarakatan harus melakukan perubahan avorisma dasarnya dari “membangun manusia mandiri’’ menjadi “Perlakukan”.
Dengan aphorism “Perlakuan”, maka Rupbasan sebagai pengemban tugas pokok dan fungsi (Tusi) Perawatan Benda Sitaan Negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konsep pemasyarakatan yang diperluas, dengan istilah lain Meta Pemasyarakatan.
Konsep perlakukan kepada pelanggar hukum dengan penegakan HAM
Meta Pemasyarakatan adalah konsep perlakuan kepada pelanggar hukum dengan penegakan hak asasi manusia (Perlakuan HAM), dimana secara integral melindungi benda-benda yang menjadi hak-hak keperdataanya hingga benda-benda tersebut ditetapkan untuk dimusnahkan, dirampas, atau dikembalikan setelah perkara hukumnya inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Dengan konsep Meta Pemasyarakatan penanganan pelanggar hukum di Indonesia menjadi sebuah bagian penegakan Hak Asasi Manusia secara utuh. Hal ini akan tercermin dari perlakuan negara kepada orang pribadi pelanggar hukum dengan benda-benda yang digunakan untuk mendukung atau sebagai hasil dari pelanggaran hukumnya tersebut. Meta Pemasyarakatan mengelompokan secara jelas pelanggar hukum berikut benda-benda yang digunakan atau sebagai hasil dari pelanggaran hukumnya itu.
Tatkala pelanggar hukumnya itu ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan), maka benda-benda yang digunakan dan atau hasil dari kejahatannya itu disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Paket penanganan hukum ini menjadi lebih jelas dalam perlakuan negara terhadap warganya yang berhadapan dengan hukum. Jika pada saatnya kelak (inkracht), benda-benda itu dinyatakan oleh hakim dikembalikan kepada pemiliknya, maka kondisi benda tersebut masih dalam keadaan terawat.
Dengan kondisi ini maka negara benar-benar hadir dan melakukan perlindungan terhadap hak-hak warganya sebagai manusia. Jika ternyata dinyatakan dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan umum (dirampas), maka kondisinya pun masih layak pakai. Namun benda-benda sitaan yang dinyatakan dirampas untuk dimusnahkan, sudah pasti akan berada dalam takaran dan volume yang seperti awalnya, karena tersimpan dan diawasi secara khusus di Rupbasan.
Pada akhirnya penulis harus menyadari bahwa pengelompokan tugas Pemasyarakatan dalam Meta Pemasyarakatan adalah sebuah novelty perlakukan terhadap pelanggar hukum.
Baca catatan menarik lainnya di : Catatan Dr.Surianto
Konsep Pemasyarakatan tidak secara eksplisit mencakup pengelolaan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Artikel ini mengusulkan pengembangan konsep “Meta Pemasyarakatan” yang lebih inklusif, dengan mengintegrasikan perlakuan terhadap pelanggar hukum dan barang-barang yang terlibat dalam tindak pidana, sejalan dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun tulisan ini memiliki pandangan yang bersemangat terhadap konsep baru ini, tetapi penting juga untuk memastikan bahwa perubahan konsep semacam ini sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. konsep ini harus dijalankan dalam kerangka hukum yang sah dan sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam kasus ini, penting untuk memastikan bahwa usulan konsep baru ini sesuai dengan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang ada.
Namun, lebih lanjut lagi, usulan konsep ini dapat menjadi titik awal bagi diskusi dan perdebatan yang lebih luas mengenai perluasan konsep pemasyarakatan yang lebih inklusif dan sesuai dengan perkembangan zaman, sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip hukum yang mendasar. Dengan demikian, langkah-langkah perubahan konsep harus memperhatikan aspek legalitas dan dampak terhadap sistem hukum yang ada.
Artikel ini juga menyatakan bahwa saat ini ada ketidaksesuaian antara konsep “Meta Pemasyarakatan” ini dan UU Pemasyarakatan yang berlaku. Rupbasan, meskipun memiliki peran penting dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, tidak secara khusus disebutkan dalam undang-undang yang ada. artikel ini menekankan bahwa Pemasyarakatan perlu mengubah paradigma fundamentalnya dari “membangun manusia mandiri” menjadi “perlakuan”. Dengan konsep “Meta Pemasyarakatan”, Rupbasan dianggap sebagai bagian integral dari sistem pemasyarakatan yang melibatkan perlakuan terhadap pelanggar hukum dan barang-barang terkait. Konsep ini, menurut penulis, mampu menjembatani kesenjangan antara pemahaman konsep dan praktik pemasyarakatan yang ada saat ini
Menurut saya meta pemasyarakatan yang bagus adalah seperti yang di katakan Dr saharjo yang mana dengan menjadi manusia yang mandiri karena menurut saya manusia pelanggar hukum berhak mendapatkan ham yang bisa memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan minum dan mendapatkan pekerjaan yang layak, maka dengan mengangkat konsep manusia mandiri menjadikan pandangan masyarakat terhadap pemasyarakatan menjadi lebih baik
Komentar ditutup.