

Barakata.id, Kupang – Zarah Zafira (19), gadis disabilitas asal Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur boleh dibilang memiliki segudang prestasi di bidang olahraga.
Usai menamatkan pendidikan dari SLB Kasih Kupang, Ipda Bambang, sang ayah Zasa, panggilan akrab Zarah Zafirah, melanjutkan terapi bagi Zasa. Zasa pun dikirim ke Jakarta. Selama tiga tahun, Zasa menjalani terapi dan latihan di sebuah lembaga milik Departemen Sosial RI.
“Walaupun mahal, biaya sekolah dan penginapan bukan menjadi alasan, asalkan Zasa bisa normal. Terbukti Zasa sudah bisa lancar berkomunikasi dan sudah tidak tergantung pada alat bantu dengar yang selama ini dipakai,” kata Ipda Bambang.
Baca juga:
Menjalani terapi di Jakarta membawa berkah tersendiri bagi Zasa. Dari sebuah club futsal penyandang disabilitas, Zasa terpilih masuk dalam timnas futsal putri Indonesia.
Tidak hanya bergabung, Zasa terpilih sebagai kapten tim saat membela Indonesia dalam ajang 3rd Asia pacific Deaf Futsal Championship 2019 di Bangkok, Thailand.
Dalam kejuaraan futsal tuli Asia Pasific yang diikuti puluhan negara 15-24 Februari itu, Zasa berhasil membawa tim Indonesia juara ke tiga setelah Jepang dan Thailand.
Sesuai ketentuan panitia, juara satu hingga tiga akan mengikuti World Deaf Futsal Championship di Swiss bulan November 2019. Tapi karena berbagai kendala dan pandemi Covid-19 sehingga urung digelar.
Baca juga:
Cerita memilukan, pulang dari kejuaraan di Thailand, Zasa tidak kebagian bonus dari Pemprov DKI Jakarta dengan alasan dari 14 anggota tim futsal tersebut, hanya Zasa yang tidak ber KTP Jakarta. Sehingga bonus hanya diberikan kepada atlet yang ber KTP Jakarta.
“Saya bangga bisa bertanding di tingkat internasional bersama tim futsal putri Indonesia walau dengan persiapan minim tapi kami bisa juara III,” ujar Zasa didampingi Ipda Bambang.
Zasa juga mengaku, dia mengikuti ajang bergengsi itu hanya kebetulan karena ia sedang menjalani pendidikan dan latihan di Jakarta, lalu terpilih menjadi kapten tim asal Jakarta yang mewakili Indonesia ke kejuaraan tingkat Asia Pasifik ini.

Zasa masih berharap agar jadwal kejuaraan dunia tetap digelar, karena ia ingin membuktikan kemampuannya memberi yang terbaik bagi bangsa dan negara, walau tergolong sebagai anak berkebutuhan khusus.
“Ke Jakarta awalnya untuk terapi dan berobat tapi ternyata terpilih menjadi anggota bahkan kapten tim untuk kejuaraan di Thailand,” ujar Zasa.
Walau belum ada kepastian jadwal pertandingan tingkat dunia, Zasa dan teman yang berkebutuhan khusus hingga kini masih giat berlatih futsal.
Baca juga:
Saat ini Zasa masih berada di Kupang karena terkendala pemberlakuan PPKM. Namun pekan depan Zasa akan kembali ke Jakarta untuk melanjutkan latihan bersama timnya.
Zasa pun tertekad akan terus berlatih dan memberikan prestasi yang terbaik buat negara. “Saya akan buktikan kalau kami bisa memberikan yang terbaik,” tegas Zasa.
Sementara Ipda Bambang dan istrinya menyatakan bangga dengan prestasi anak gadis mereka.
“Anak berkebutuhan khusus memang susah ditangani. Namun kalau ditangani dengan baik, maka akan menjadi anak yang berprestasi. Kita harus sabar menghadapi mereka,” tutup Bambang.
Zasa, yang terlahir dengan kekurangan pada indera penting dalam dirinya, justru membuat Zasa tumbuh dan menjadi kebanggaan bagi Ipda Bambang Mardianto dan Sarah Rinawati.
Zasa dilahirkan normal seperti bayi pada umumnya. Namun saat berusia tiga tahun Zasa cenderung cuek dan apatis, bahkan emosian saat diajak berinteraksi.
Ipda Bambang Mardianto dan Sarah Rinawati menyadari kalau anak mereka mempunyai kekurangan yakni, menyandang tuna rungu dan wicara.
Ipda Bambang dan Sarah tidak berdiam diri menerima kenyataan. Mereka mencari jalan dengan membawa Zasa berkeliling mencari pengobatan tradisional, pengobatan alternatif, bahkan sampai membawa ke pendeta untuk didoakan.
Mereka berdua tidak berpikir lagi soal kepercayaan. Yang mereka inginkan saat itu adalah kesembuhan Zasa. Semua usaha belum menunjukkan hasil positif. Usia Zasa beranjak empat tahun, Ipda Bambang mulai mencari jalan lain berupaya menyembuhkan anak gadisnya.
Baca juga:
Ipda Bambang yang bertugas di Direktorat Polairud Polda NTT itu, mulai sering izin meninggalkan tugas demi membawa anaknya mencari pengobatan di Bali dan Jawa.
Tertarik cerita viral tentang bocah Ponari, Ipda Bambang menggendong Zasa untuk mengantre mendapatkan pengobatan, dengan batu ajaib yang dicelupkan ke air.
Ipda Bambang bahkan ke Ustad MT Haryono di Yogyakarta dan rela antre berminggu-minggu pengobatan Zasa. Ipda Bambang juga pernah membawa anak gadisnya ke kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Mapolda NTT, untuk didoakan oleh pendeta Gilbert Lumoindong.
“Saya memang Muslim tapi saya coba membawa ke acara KKR dengan harapan bisa didoakan dan anak saya bisa sembuh,” cerita Ipda Bambang seperti dikutip dari Merdeka.com, Selasa (3/8/2021) didampingi anaknya.
Bambang baru menerima jika anaknya menderita tuna rungu dan wicara, setelah mendapat penjelasan saat Zasa dibawa berobat ke dokter Hembing, selama satu bulan.
Bambang dan Sarah akhirnya pasrah dan ikhlas menerima kondisi anak mereka sebagai takdir. Mereka pun tak lelah mendampingi anak gadis mereka untuk diajari dan dirawat.
Zasa tumbuh menjadi gadis yang sangat aktif dan bisa dikategorikan hiper saat beraktivitas. Bambang kemudian mengikutsertakan Zasa ke berbagai kegiatan olahraga untuk menyalurkan energi Zasa.
“Awalnya Zasa bawaannya emosional dan seperti anak yang super aktif makanya kami siasati dengan mengikutkan Zasa ke berbagai kegiatan olahraga,” ujar Bambang.
Zasa pun mulai aktif di kegiatan renang, kempo, bulutangkis dan kegiatan olahraga lainnya. Setelah dirasa bisa menguasai emosi, Zasa pun disekolahkan di sekolah umum, yakni SD St. Maria Assumpta Kota Kupang.
Baca juga:
Namun jenjang SMP dan SMA dijalani di sekolah luar biasa (SLB) Kasih Kupang. Selama menjadi siswi SLB Kupang, Zasa menjadi atlet yang sering ikut kejuaraan.
“Zasa pernah juara tingkat lokal bahkan nasional pertandingan bulutangkis, dan sejumlah kejuaraan lain di berbagai cabang olahraga,” ungkap Bambang.
Editor: Ali Mhd