

Batam – Kerusakan hutan mangrove di Indonesia semakin gawat. Saat ini, hanya tersisa 40 persen hutan mangrove yang dalam kondisi bagus, sisanya 60 persen sudah rusak.
“Hutan mangrove kita sudah terlalu besar kerusakannya, sampai 60 persen,” kata Sekretaris Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) RI, Septiama di sela kegiatan penanaman mangrove di Pulau Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (20/7/19).
Ia mengatakan, penyebab rusaknya hutan mangrove dipicu oleh pesatnya pembangunan industri dan perumahan. Pembangunan telah mendesak sumber daya lingkungan terkait dengan kebutuhan lahan.
Selain itu, maraknya aksi penjarahan dan penebangan liar juga ikut mendorong cepatnya kerusakan hutan mangrove di Indonesia.
“Banyak biota yang tak bisa hidup kalau tak ada mangrove. Di perbatasan Indonesia-Malaysia, mangrove itu betul-betul dipelihara, untuk kepiting. Dan mereka jadi sumber kepiting terbesar. Kalau mangrove sana bagus, kita tak ada, biota lari ke sana semua,” kata dia.
Baca Juga : Tahun 2030, Laut Lebih Banyak Sampah Plastik daripada Ikan
Kegiatan penanaman mangrove itu sempena dengan Bulan Bakti Karantina dan Mutu Hasil Perikanan, digelar serentak di seluruh Indonesia. Septiama mengatakan, selama ini lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan bersifat pasif.
Tapi di era 4.0 sekarang instansi pemerintah harus aktif mendekatkan pelayanan ke masyarakat. “Di antaranya dilakukan melalui rangkaian kegiatan bulan bakti ini,” ujarnya.
Septiama mengajak seluruh elemen masyarakat bersama-sama melestarikan hutan mangrove untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pemerintah pun diimbau terus melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan biota laut.
“Pemerintah dan masyarakat harus bergandengan tangan menjaga dan melestarikan hutan mangrove,” katanya.
Di tempat yang sama , Wali Kota Batam, Muhammad Rudi mengatakan, banyak manfaat yang akan dirasakan dengan menjaga dan melestarikan hutan. Bukan hanya untuk mencegah abrasi pantai tapi juga bisa dimanfaatkan untuk budidaya perikanan hingga pengembangan pariwisata berbasis alam.
“Di Johor (Malaysia), hutan mangrove tak sekadar jadi penahan erosi tapi jadi lokasi ternak. Ada lokan, kijing, siput, ketam. Di Johor (mangrove) itu dijaga, dipelihara. Orang datang ambil sendiri, masak di sana. Jadi wisata. Tadi kami lihat bakau di sini masih ada. Kenapa potensi ini tak digunakan sebaik-baiknya,” kata Rudi.
Baca Juga : Batam Sulap Rumah Warga Jadi Homestay, Agar Turis Betah
Menurut Rudi, sejak awal Batam memang dirancang untuk menjadi kota industri. Karena itu sebagian besar daratan terutama di pulau utama sudah habis untuk pengembangan investasi. Setelah daratan habis, mulai merambah ke kawasan pesisir.
“Daratan di pulau Batam ini semakin lama semakin habis. Daratnya dihabiskan, setelah itu menuju ke pesisir. Karena itu, kita harus menjaga pulau-pulau penyangga, salah satunya Belakangpadang ini,” kata dia.
“Informasi dari Pak Camat (Belakangpadang) ternyata pesisirnya pun sudah dikuasai masyarakat. Yang tersisa kecil sekali, hanya berapa persen saja. Saya sudah minta Pak Camat agar yang tersisa ini harus diselamatkan, jangan ada izin (pembangunan) di pantai ini lagi, tidak boleh sembarangan,” katanya.
*****