
“Jadi pengembangan embahnya ayam atau GPS yang ada di integrator harus dibatasi. Dan itu dihitung dengan benar angkanya bisa 10% sampai 30%. Sehingga, tidak terjadi over produksi yang terus menerus,” tandasnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Ketua DPRD Kabupaten Blitar Suwito Saren Satoto mengatakan akan menindaklanjutinya sesuai kewenangannya.
Pihaknya dalam hal ini sangat setuju apabila populasi budi daya DOC ini untuk sementara dibatasi.
“Dengan begitu dimungkinkan adanya keseimbangan antara kebutuhan pasar dengan hasil produksi,” tutur Politikus PDIP ini.
Suwito juga mengatakan, jika proses pembatasan itu dilakukan dengan dibuatkan peraturan daerah (Perda), tentunya ini akan memakan waktu yang cukup panjang.
Sementara, peternak rakyat khususnya di Kabupaten Blitar dalam satu tahun belakangan ini kondisinya sangat memprihatinkan.
“Dimana mereka sudah mengalami kebangkrutan selama satu tahun. Peternak rakyat yang ada di Kabupaten Blitar rata-rata peternak UMKM. Mereka harus dilindungi keberadaanya,” ujarnya.
Kemudian, wakil ketua Mujib SM menambahkan, bahwa untuk sementara apa yang ia bisa lakukan sekarang ini adalah dengan menggelorakan kepada masyarakat untuk gemar makan telur (Gemalur).
Harapannya, ketika kebutuhan telur dipasaran meningkat, tentunya harga telur juga ikut naik.
“Nah, ini sementara yang harus kita gelorakan kepada masyarakat,” ucapnya.
Adapun sebelumnya, pergerakan integrator itu dibatasi Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras.
Baca juga : Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Blitar Ada 18 Ranperda dan Persetujuan APBD menjadi Perda
Di dalam disebutkan, bahwa usaha budi daya ayam ras diutamakan bagi peternakan rakyat, perorangan, kelompok maupun koperasi.
Namun, Keppres 20 Tahun 1990 dicabut pada 1999 hingga akhirnya terjadi kekacauan pada tata niaga ayam ras. Kini, 80% pangsa pasar komoditas itu dikuasai integrator yang akhirnya membuat banyak peternakan rakyat berguguran. (jun)