Beranda Urban Catatan

Kontroversi Pajak Karbon Di Indonesia: Upaya Selamatkan Bumi Atau Beban Bagi Industri?

Oleh: Anastasia Bela Leonanda dan Tasya Amanda Putri, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia

146
0
Ilustrasi Asap Pabrik
Ilustrasi Asap Pabrik. Sumber: Atribusi Creative Commons
DPRD Batam

Barakata, Catatan – Sebagai negara kepulauan, Indonesia berada di garis terdepan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Akhir-akhir ini, Indonesia dihadapkan dengan suhu bumi yang terus meningkat dan mulai menggerogoti fondasi Nusantara. Pada tahun 2023 silam, suhu global mengalami tren kenaikan daripada rata-rata suhu bumi di era pra-industri tahun 1850-1900 (BBC News Indonesia, 2024). Tidak mau kalah, emisi gas rumah kaca (GRK) nasional pun juga mengikuti jejak yang sama, kenaikan emisi GRK ini menempatkan Indonesia menduduki peringkat ke-enam penghasil emisi GRK terbesar di dunia pada tahun 2023 (Statistical Review of World Energy, 2024). Dwikorita selaku Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga kembali menekankan bahwa “Perubahan iklim global bukanlah kabar bohong (hoax-red) dan prediksi untuk masa depan melainkan realitas yang dihadapi milyaran jiwa penduduk bumi”.

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah sendiri nampaknya sudah menunjukan keseriusannya pada saat mendeklarasikan komitmennya dalam penurunan emisi dan menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius pada Paris Agreement. Komitmen penurunan emisi ini semakin ditekankan oleh Pemerintah dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang bertujuan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).

Ikuti saluran Barakata.id di WhatsApp klik disini

Baca juga: Mengenal Pajak Karbon: Si Pelindung Lingkungan dari Eksternalitas Negatif

Meskipun komitmen ini kuat di atas kertas, tetapi kesiapan regulasi dan implementasi kebijakan Pajak Karbon masih jauh dari ideal, terlebih lagi saat kebijakan ini mengalami penundaan sampai tahun 2025. Penundaan ini menunjukkan bahwa pemerintah menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan ambisi iklim dengan dampak potensial pada perekonomian negara. Selain itu, penundaan ini juga memunculkan keresahan bagi para pelaku industri yang mulai mempertanyakan dan menguji kesiapan pemerintah dalam menerapkan kebijakan Pajak Karbon di Indonesia.

Kini, semua mata tertuju pada permasalahan iklim dengan pajak karbon yang menjadi sorotan utamanya. Kebijakan ini seringkali dianggap sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, pemerintah menganggap bahwa kebijakan ini merupakan langkah penting untuk mencapai target pengurangan emisi. Sedangkan di sisi lain, kebijakan Pajak Karbon ini dianggap menjadi beban pajak tambahan yang harus ditanggung oleh para pelaku industri. Lalu, apakah kebijakan Pajak karbon ini memang ditujukan sebagai upaya untuk menyelamatkan bumi dari tingginya emisi, atau justru hanya sekedar beban tambahan yang harus ditanggung oleh para pelaku industri untuk meningkatkan pendapatan negara?

Pada dasarnya, pemerintah mulai berencana untuk menerapkan kebijakan Pajak Karbon setelah mendapat desakan dari berbagai negara di dunia untuk melakukan penurunan emisi yang tertuang dalam Paris Agreement. Kebijakan Pajak Karbon ini tentunya memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung transisi ke energi ramah lingkungan. Dalam kebijakan ini, pemerintah berencana mengenakan Pajak Karbon pada sektor-sektor yang menghasilkan emisi karbon tinggi, seperti pada industri dan pembangkit listrik yang fokus utamanya pada penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Melalui kebijakan ini, pemerintah juga berupaya untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060.

Meskipun tujuannya mulia, penerapan kebijakan Pajak Karbon di Indonesia tidak luput dari kontroversinya. Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan Pajak Karbon terdapat dilema antara komitmen pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan pembangunan ekonomi Indonesia. Selain itu, Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid juga berpendapat bahwa penerapan kebijakan ini dapat memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Hal ini terjadi karena dengan adanya pajak karbon dapat membuat biaya produksi menjadi naik dan daya beli masyarakat menurun.

Bagi para pelaku industri, kebijakan Pajak Karbon ini menimbulkan keresahan akan dampak langsung yang mungkin dirasakan terhadap biaya operasional industri, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada energi fosil, seperti industri manufaktur, tekstil, pembangkit listrik, dan transportasi. Pengenaan Pajak Karbon pada sektor industri dapat meningkatkan biaya produksinya. Kenaikan ini berpotensi mengancam keberlangsungan sektor industri tersebut dan dapat menurunkan daya saing mereka di pasar internasional. Selain itu, juga dapat mengakibatkan harga jual produk tersebut mengalami kenaikan, sehingga akan berdampak bagi tingkat kesejahteraan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Baca juga: Bulan Bakti Pramuka, 750 Bibit Pohon Ditanam di Gedung Kwartir Kepri

Keresahan tersebut juga diperkuat dengan adanya penundaan pelaksanaan kebijakan Pajak Karbon hingga tahun 2025 mendatang. Penundaan ini memicu spekulasi bahwa regulasi yang ada saat ini belum cukup kuat untuk mendukung transisi ke energi ramah lingkungan karena kurangnya persiapan pemerintah dalam merancang strategi penurunan emisi dan sasaran sektor prioritas penghasil emisi terbesar. Ketidakpastian ini berpotensi merusak kepercayaan pelaku industri kepada pemerintah dan meredupkan upaya transisi menuju Net Zero Emission.

Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement seharusnya tidak hanya sekadar pernyataan politik belaka, tetapi diikuti oleh kebijakan yang terukur dan pelaksanaan yang tegas. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan Pajak Karbon itu tepat untuk menjadi instrumen perubahan yang membantu industri mengadopsi teknologi bersih dan menyelaraskan praktik bisnis dengan target pengurangan emisi. Apabila dilaksanakan dengan matang, kebijakan Pajak Karbon dapat menjadi fondasi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bukan sekadar beban tambahan bagi industri.