

Batam – Bau menyengat tak sedap langsung menyeruak saat daun pintu kontainer dibuka oleh seorang petugas di Pelabuhan Batuampar, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Di dalam kontainer tersebut, terdapat berbagai limbah yang didominasi sampah berbahan plastik.
Bukan hanya satu, di pelabuhan bongkar muat terbesar di Kota Batam itu juga ditemui puluhan kontainer lain yang berisi sampah plastik. Kontainer tersebut didatangkan perusahaan pengolah limbah di Batam dari Amerika Serikat.
Penemuan puluhan kontainer berisi sampah tersebut terungkap saat Kantor Bea dan Cukai Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemko Batam meninjau ke lokasi penyimpanan kontainer di pelabuhan, Jumat (14/6/19). Wali Kota Batam, Muhammad Rudi juga ikut dalam peninjauan itu.
Rudi pun tak bisa menyembunyikan kegeramannya. Ia kecewa sebab informasi yang sampai kepadanya, kontainer yang didatangkan dari Amerika Serikat itu adalah biji plastik, bukan limbah sampah plastik.
Ia menegaskan, Batam bukan tempat pembuangan limbah sampah, apalagi yang mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Batam memang memperbolehkan impor biji plastik karena stok lokal tidak mencukupi untuk kebutuhan produksi plastik.
“Mudah-mudahan ini kejadian pertama dan terakhir,” katanya.
Baca Juga : Limbah B3 di Batam Sudah Bisa Dikirim ke Luar
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Batam, Susila Brata menyebutkan total ada 65 kontainer dalam 16 dokumen milik empat perusahaan produsen yang diperiksa. Kontainer-kontainer itu berasal dari negara di Amerika dan Eropa.
“Belum semua dibuka. Kemarin ambil sampel, ada tiga yang belum penuhi syarat. Ada empat yang tidak ada masalah jadi sudah kita rilis. Yang belum penuhi syarat disegel supaya tak digunakan dulu,” kata dia.
Menurut Susila, belum tentu semua barang yang diperiksa tersebut melanggar aturan. Penentuan ada tidaknya limbah B3 nanti berdasarkan hasil uji laboratorium.
“Sebelum diimpor ke sini sudah disurvei surveyor luar negeri. Ini sudah penuhi Permendag. Sekarang kondisi seperti ini, berarti yang menyatakan itu yang harus dicari. Apabila memang ditemukan limbah B3, Permendag sudah katakan harus dikembalikan,” tegasnya.
Masih menunggu hasil uji lab

Senin (17/6/19) lalu, tim gabungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Bea dan Cukai (BC) kembali melakukan pemeriksaan terhadap kontainer yang diduga membawa limbah B3 tersebut.
Kepala DLH Pemko Batam, Herman Rozie mengatakan, dari 65 kontainer yang dicurigai, ada sekitar 37 kontainer lagi yang belum diperiksa uji lab.
“Nanti hasilnya akan disampaikan Kementerian (LHK) dan Bea Cukai, sekarang kan masih tahap pemeriksaan dan uji lab,” ujarnya.
Baca Juga : Tumpukan Limbah B3 Ganggu Industri di Batam
Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad menegaskan, Pemko Batam akan meminta puluhan kontainer yang terindikasi berisi limbah B3 itu dikembalikan ke negara asalnya. Saat ini, Pemko Batam juga sedang menanti hasil uji lab dari Bea Cukai dan KLHK.
Amsakar menegaskan, berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 2013, limbah plastik dalam dan luar negeri harus ditolak.
“Kami sudah turun ke lapangan, dan memang ditemui ada beberapa di antara 65 kontainer yang saat mengambil sampel diuji mengandung limbah B3,” katanya.
Karena itu, Amsakar menegaskan, perusahaan yang mengimpornya harus mengembalikan kontainer berisi limbah tersebut ke sumbernya.
Desakan agar limbah impor tersebut dipulangkan ke negara asal juga disuarakan anggota Komisi I DPRD Batam, Lik Khai. Menurutnya, dampak dampak yang ditimbulkan akibat limbah tersebut akan sangat membahayakan bagi Kota Batam di masa mendatang.
“Saya kira, tidak ada satu negara pun yang mau menerima limbah plastik yang diduga mengandung B3 ini. Karena itu ini menjadi masalah serius yang harus ditangani secara serius pula,” katanya.
Ia pun mempersoalkan perizinan yang didapat perusahaan importir sehingga bisa memasukkan limbah sampah plastik itu ke Batam. Ia yakin, tidak ada izin yang memberikan restu masuknya limbah baik itu B3 maupun non-b3 ke Batam.
Lik Khai menegaskan, yang terjadi sekarang ini jelas-jelas melanggar undang-undang. Menurut dia, kalau perusahaan pengimpor memang mengantongi izin ipor limbah sampah plastik itu, maka ada sesuatu yang salah di tingkat kementerian.
Pasalnya, plastik yang diangkut ke Batam dengan kontainer itu bukan merupakan bahan baku atau biji pola stik, melainkan plastik yang masuk dalam kategori limbah.
“Ini yang harus dicek benar, mereka (pengimpor) punya izin atau tidak,” katanya.
Filipina dan Malaysia Pulangkan limbah plastik ke negara asal

Persoalan impor limbah sampah plastik bukan hanya terjadi di Kota Batam dan wilayah Indonesia lainnya. Di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, masalah impor sampah ini juga sempat ramai beberapa waktu belakangan.
Filipina misalnya, pada Jumat (31/5/19) lalu, negara tersebut sudah memulangkan berton-ton sampah ke Kanada. Filipina dengan tegas menolak wilayahnya menjadi tempat pembuangan sampah internasional.
Desakan pengembalian sampah itu ke Kanada disuarakan langsung oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Mengutip Channel News Asia, sampah-sampah itu dikirim kembali dengan 69 kontainer, dimuat dalam kapal kargo di Subic Bay, bekas pangkalan angkatan laut AS dan pelabuhan pengiriman di barat laut Manila. Ke-69 kontainer itu telah memulai perjalanan panjang menuju Kanada.
“Filipina sebagai negara berdaulat yang merdeka, tidak boleh diperlakukan sebagai sampah oleh negara asing lainnya,” kata juru bicara kepresidenan Salvador Panelo.
“Jelas, Kanada tidak menganggap serius masalah ini atau negara kami. Rakyat Filipina sangat terhina tentang Kanada yang memperlakukan negara ini sebagai tempat pembuangan sampah,” sambungnya.
Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin bahkan mengucapkan syukurnya atas kepergian sampah berjumlah luar biasa tersebut.
“Baaaaaaaaa bye, seperti yang kita katakan,” cuit Locsin dalam akun Twitter-nya. Dalam cuitan itu, ia juga turut menyertakan gambar kapal yang pergi.
Baca Juga : Sampah Plastik Negara Kaya Serbu Asia Tenggara
Merespons hal tersebut, Kanada mengatakan limbah yang diekspor ke Filipina antara 2013 dan 2014, adalah transaksi komersial yang dilakukan tanpa persetujuan pemerintah.
Hubungan diplomatik kedua negara telah memburuk sejak sebuah perusahaan Kanada mengirim sekitar 100 kontainer, termasuk sampah busuk yang salah diberi label sebagai barang daur ulang, ke pelabuhan Filipina pada tahun 2013 dan 2014.
Kanada sejak itu mengatakan sedang berupaya mengatur pengembalian kontainer, tetapi belum memberikan jangka waktu.
Tidak hanya Filipina, Pemerintah Malaysia juga sudah mengumumkan bakal mengirim pulang 450 ton limbah plastik impor ke asalnya. Negara jiran Indonesia itu bersikeras tidak ingin menjadi tempat pembuangan sampah global.
Yeo Bee Yin, Menteri Energi, Teknologi, Ilmu Pengetahuan, Lingkungan dan Perubahan Iklim Malaysia mendesak negara maju untuk menghentikan pengiriman sampah ke Malaysia.
“Ini tidak adil dan tidak manusiawi! Kami akan kembalikan sampah-sampah itu ke negara asalnya tanpa ampun. Malaysia tidak akan menjadi TPA bagi dunia. Kita tidak bisa di-bully oleh negara-negara maju,” katanya.
Data resmi menunjukkan impor sampah plastik ke Malaysia meningkat tiga kali lipat sejak 2016, menjadi 870.000 ton tahun lalu.
Lonjakan itu memicu pesatnya pertambahan jumlah fasilitas daur ulang yang sebagian besar beroperasi tanpa izin atau lisensi, juga tanpa memperhatikan standar pengolahan limbah lingkungan yang berlaku.
Yeo bertekad untuk menindak sejumlah fasilitas daur ulang dan aktivitas impor ilegal, dan menyebut mereka yang terlibat dalam impor sampah itu sebagai ‘pengkhianat.’
Setelah Yeo Bee Yin memeriksa beberapa kontainer berisi sampah di Port Klang, pelabuhan Malaysia tersibuk, ia menyatakan niatnya untuk memulangkan 450 ton limbah plastik yang terkontaminasi dalam 10 kontainer – dari Australia, Bangladesh, Kanada, Cina, Jepang, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
“Kontainer-kontainer ini berisi limbah plastik terkontaminasi, tidak homogen, berkualitas rendah, tidak dapat didaur ulang, dan dikirim ke fasilitas pemrosesan tanpa teknologi daur ulang yang ramah lingkungan,” tegasnya.
Bulan lalu, Malaysia juga memulangkan lima kontainer sampah plastik ke Spanyol. Inspeksi sedang dilakukan terhadap lebih dari 50 kontainer lainnya yang masuk negara itu secara ilegal.
Yeo menyatakan 150 fasilitas daur ulang limbah ilegal telah ditutup dan butuh waktu hingga akhir tahun untuk menangani masalah impor sampah itu sepenuhnya.
Tahun lalu, setelah melihat lonjakan sampah plastik di negaranya, Vietnam mengeluarkan larangan untuk izin baru impor sampah. Berdasarkan kekhawatiran lingkungan, Vietnam mengibarkan bendera merah setelah timbunan besar pengiriman ilegal sampah berjejer di pelabuhan-pelabuhan mereka.
Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc mengatakan Vietnam akan mencari para pemilik kontainer yang berjejer di pelabuhan mereka. Ia juga meluncurkan investigasi kriminal terhadap impor ilegal dan pelanggara undang-undang lingkungan.
Seperti Vietnam, Thailand pun sudah mengeluarkan larangan terhadap sampah plastik yang datang tahun lalu, ketika mereka menyadari ada 432 limbah elektronik dari negara-negara Barat, berdasarkan sebuah laporan dari Reuters. Keputusan negara ini diambil hanya beberapa minggu setelah keputusan Vietnam.
Larangan sampah elektronik Thailand diambil setelah penggerebekan terhadap beberapa pabrik pada bulan Mei yang dituduh telah secara ilega mengimpor sampah elektronik. Thailand juga mengatakan mereka akan melarang impor sampah plastik pada tahun 2020.
*****