

Kuala Lumpur – Setiap malam, udara berbau tajam dari arah pabrik pelumeran limbah plastik meliputi Desa Jenjarom di dekat Kuala Lumpur, Malaysia.
“Bau sekali. Dan asapnya merusak paru-paru kami,” kata Lay Peng, seorang penduduk desa.
“Yang paling parah adalah tidak seorangpun bisa melarikan diri dari asap beracun ini.”
Menurut perempuan berusia 47 tahun tersebut, seperti dikutip dari Detik com, ratusan ton limbah plastik dibakar secara ilegal hanya satu kilometer dari rumahnya. Ketiga anaknya, klaim Lay, kini menderita asthma, sementara sang suami mengidap penyakit kanker paru-paru.
Padahal hingga dua tahun silam, udara di desa masih bersih dari asap beracun tersebut.
Tanpa disadari warga, Desa Jenjarom terseret ke pusat episentrum krisis limbah global. Sejak Cina mengumumkan akan mengurangi impor limbah plastik dan kertas pada 2017 silam, sejumlah negara sibuk mencari lokasi baru untuk membuang limbah yang kian menumpuk.
Limbah-limbah itu terutama berasal dari negara makmur, seperti Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan.
“Keputusan itu mengejutkan industri daur ulang global,” kata Arnaud Brunet dari Biro Daur Ulang Internasional (BIR) di Brussels, Belgia.
Selama ini Cina mengimpor 56 persen limbah plastik dan kertas. Namun demi “melindungi kesehatan warga”, pemerintah di Beijing mengambil langkah drastis dengan menutup keran impor.
Akibatnya hanya dalam beberapa bulan setelah Cina mengumumkan keputusan tersebut, impor limbah plastik Malaysia meningkat tiga kali lipat.
Jiran Indonesia di bagian utara itu bukan satu-satunya negara yang kelimpahan limbah plastik negara maju. India, Thailand, Vietnam dan Indonesia juga dibidik sebagai negara tujuan ekspor baru.
Semua negara memiliki satu kesamaan, yakni aturan impor limbah yang longgar dan program pengolahan limbah setengah hati. Menurut laporan Bank Dunia 2018 silam, lebih dari 90 persen limbah di negara berkembang dan miskin “dibuang secara ilegal atau dibakar sehingga menimbulkan konsekuensi serius terhadap kesehatan, keamanan dan lingkungan.”
Tetapi situasi mulai berubah di sejumlah negara, terutama Thailand, Malaysia dan Indonesia. Tahun lalu dua negara jiran itu menerbitkan aturan impor limbah yang lebih ketat untuk menghalau serbuan sampah plastik dari Eropa dan Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebaliknya tetap berpegang pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Tata Cara Importasi Limbah Non B3.
Kedua produk perundangan tersebut diyakini cukup mampu “meminimalisir kemungkinan kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat pencemaran limbah,” tulis Kedutaan Besar Indonesia di Brussels, Belgia, kepada DW.
Meski demikian pemerintah mengakui serbuan limbah dari luar negeri sebagai “tantangan” yang tidak mudah diatasi
Pasalnya meski adanya pembatasan impor, “limbah plastik campuran masih diimpor secara ilegal. Penyelundupan sampah marak dan pemerintah kewalahan mengawasinya,” tutur Heng Kiah Chun dari Greenpeace Asia.
April silam lembaga lingkungan Australia, Ecological Observations and Wetlands Conservation (Ecoton), menerbitkan laporan yang mengungkap praktik penyelundupan sampah plastik asal Australia ke Indonesia. Limbah itu dimasukkan ke dalam kontainer berisi kertas bekas yang diimpor untuk kebutuhan industri.
Menurut Ecoton, impor kertas bekas dari Australia mencapai 52 ribu ton, sekitar 30 persen di antaranya berupa sampah plastik. Sampah itu kemudian dibuang secara ilegal dan mencemari kawasan Kali Brantas, Jawa Timur.
Cina sebaliknya kini membidik komoditas plastik yang sudah didaur ulang dari negara lain. Sebab itu pula semakin banyak perusahaan Cina yang membangun pabrik daur ulang plastik di Asia Tenggara, lantaran berharap bisa mengeruk untung dari larangan impor.
Sejak akhir 2017, pabrik daur ulang “tumbuh bak jamur” di sejumlah negara seperti Malaysia, kebanyakan dijalankan oleh investor Cina.
‘Warga di sekitar desa, tetangga saya dan saya sendiri menghitung sudah ada 40 pabrik daur ulang plastik,” kata Lay Peng, penduduk desa Jenjarom.
Dan asap beracun yang dulu menyesaki udara Cina kini berpindah ke sejumlah kawasan di Asia Tenggara, seperti di Jenjarom.
Malaysia kembalikan 3.000 tim sampah plastik

Sampah plastik ditumpuk di luar pabrik daur ulang ilegal di Jenjarom, Kuala Langat, Malaysia, Ahad, 14 Oktober 2018. Malaysia tercatat mengimpor hampir setengah juta ton sampah plastik antara Januari dan Juli dari hanya 10 negara utama. REUTERS/Lai Seng Sin
Sisa pembakaran sampah plastik terlihat sebuah pabrik daur ulang plastik ilegal di pinggir jalan di Pulau Indah, Malaysia, Ahad, 14 Oktober 2018. Menteri Lingkungan Hidup Malaysia memperkirakan bahwa industri daur ulang plastik menghasilkan 3,5 miliar ringgit Malaysia atau sekitar Rp 12.7triliun tahun ini. (REUTERS/Lai Seng Sin)
Malaysia akan mengirimkan kembali 3 ribu ton sampahplastik ke sebanyak 14 negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Malaysia menjadi negara Asia terbaru, setelah Filipina, yang menolak kiriman sampah dari negara-negara kaya.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (28/5/19), dan dikutip dari Detik.com, tahun lalu, Malaysia menjadi tujuan utama dunia untuk sampah plastik setelah Cina menetapkan larangan impor sampah.
Larangan yang diberlakukan China itu mengganggu aliran lebih dari 7 juta ton sampah per tahunnya. Puluhan pabrik daur ulang muncul secara tiba-tiba di Malaysia, dengan kebanyakan beroperasi tanpa izin resmi.
Masyarakat kerap mengeluhkan masalah lingkungan.
Menteri Energi, Teknologi, Ilmiah, Lingkungan dan Perubahan Iklim, Yeo Bee Yin, menyatakan 60 kontainer berisi sampah yang diimpor secara ilegal, akan dikirimkan kembali kepada si pengirim
“Kontainer-kontainer ini secara ilegal dibawa ke negara ini di bawah deklarasi palsu dan pelanggaran-pelanggaran lainnya yang jelas-jelas melanggar aturan hukum lingkungan kita,” sebut Yeo kepada wartawan setempat, setelah memeriksa pengiriman di Port Klang, pinggiran Kuala Lumpur.
Para pejabat Malaysia telah mengidentifikasi sedikitnya 14 negara asal pengirim sampah tak diinginkan itu, termasuk AS, Jepang, Prancis, Kanada, Australia dan Inggris.
Yeo menyebut warga dari negara-negara maju kebanyakan tidak menyadari sampah-sampah mereka, yang mereka pikir didaur ulang. Padahal sebagian besar dibuang ke Malaysia, yang kemudian akan dihancurkan dengan metode yang membahayakan lingkungan
Sebuah perusahaan daur ulang di Inggris dilaporkan telah mengekspor sampah plastik sebanyak 50 ribu ton ke Malaysia dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Yeo tidak menyebut lebih lanjut nama perusahaan yang dimaksud.
Ditegaskan Yeo bahwa Malaysia akan meminta pemerintah negara-negara pengirim sampah plastik itu untuk menyelidiki perusahaan-perusahaan semacam itu.
“Kami mendorong negara-negara maju untuk mengkaji ulang pengelolaan sampah plastik mereka dan berhenti mengirimkan sampah ke negara-negara berkembang. Jika Anda mengirimkannya (sampah plastik) ke Malaysia, kami akan mengembalikannya tanpa ampun,” tegas Yeo dalam pernyataannya
Sejauh ini, Malaysia telah mengirimkan lima kontainer berisi sampah plastik terkontaminasi ke Spanyol. Selain Malaysia, Filipina menjadi salah satu negara Asia yang mengembalikan kiriman sampah ke negara asalnya.
Pekan lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan jajarannya untuk menyewa jasa perusahaan pengiriman swasta untuk mengirimkan 69 kontainer berisi sampah kembali ke Kanada. Jika Kanada menolak, Duterte memerintahkan agar kontainer-kontainer itu ditinggalkan di perairan Kanada.
Otoritas Kanada menyatakan bahwa kiriman sampah ke Filipina itu merupakan bagian dari transaksi komersial dan tidak didukung pemerintah Kanada. Diketahui bahwa sekitar 2.450 ton sampah itu dikirimkan sebuah perusahaan yang berkantor di Kanada, ke Filipina, tahun 2013 dan 2014 lalu.
Kanada telah menawarkan untuk mengambil kembali sampah-sampah itu dan kedua negara terlibat proses pengaturan untuk pengembalian kiriman sampah itu. Namun Kanada melewatkan batas waktu 15 Mei untuk pengembalian kiriman sampah yang ditetapkan Filipina dan Duterte hilang kesabaran.
Selain memerintahkan pengembalian sampah ke Kanada, Duterte juga menarik Duta Besar (Dubes) dan Konsul-konsulnya dari Kanada terkait sengketa sampah ini.
*****