
Bengkulu – Bencana banjir dan longsor menerjang sejumlah wilayah di Provinsi Bengkulu. Hingga Minggu (28/4/19), jumlah korban jiwa tercatat sebanyak 10 orang.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bengkulu mencatat, selain 10 orang meninggal dunia, ada 8 orang dinyatakan hilang dan 2 orang luka berat.
Musibah ini juga menyebabkan 12 ribu orang mengungsi, dan sebanyak 3.880 warga terdampak bencana.
“Terdapat 84 rumah rusak, 4 unit fasilitas pendidikan, 40 titik infrastruktur dengan total estimasi kerugian Rp 138 miliar,” tulis Kepala BPPD Bengkulu, Rusdi Bakar dalam laporannya, Minggu (28/4/19).
Banjir yang melanda Bengkulu terjadi setelah diguyur hujan dengan intensitas cukup lebat. Wilayah-wilayah yang terkena banjir parah adalah, Kota Bengkulu, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, di Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur harus menjadi korban.
Kerusakan Alam
Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian mengatakan, banjir dan tanah longsor adalah salah satu penanda dari mulai menurunnya daya serap kawasan terhadap air hujan. Air hujan yang tidak bisa diserap akhirnya langsung mengalir ke sungai, lalu sungai pun meluap.
Ditelisik lebih jauh, lanjut Uli, kawasan serap air saat ini telah dibebani oleh izin-izin pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar seperti kelapa sawit. Kawasan yang awalnya hutan, banyak yang berubah bentuk jadi perkebunan dan pertambangan.
Khusus di Kota Bengkulu, wilayah seperti Kelurahan Bentiring, Rawa Makmur, Tanjung Agung, Tanjung Jaya dan adalah wilayah langganan banjir dari luapan air sungai Bengkulu.
Meluapnya sungai Bengkulu adalah fakta dari rusaknya wilayah hulu DAS Bengkulu. Catatan Genesis, kerusakan itu disinyalir akibat aktivitas beberapa perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan tambang batu bara.
“Taman Buru Semidang Bukit Kabu, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Rindu Hati telah dibebani oleh aktivitas pertambangan dan kondisinya semakin memburuk,” sebut Uli dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/5/19).
Selain wilayah Kota Bengkulu, lanjut Uli, Kabupaten Kepahiang yang juga dilanda banjir adalah dampak dari rusaknya hutan lindung Bukit Daun yang jadi tangkapan air sungai Musi. Kerusakan ini diakibatkan aktivitas pembukaan hutan.
Meluapnya DAS Ketahun yang menyebabkan banjir di Ketahun, Bengkulu Utara pun dipicu tutupan kawasan resapan air telah berubah menjadi perkebunan monokultur dan pertambangan batu bara. Begitu juga dengan Kabupaten Kaur dan Bengkulu Selatan yang wilayah hulunya telah banyak dibuka menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit skala besar.
Uli mengatakan, banjir kali ini termasuk banjir terbesar dan serentak dialami hampir di seluruh wilayah Bengkulu.
“Alam dan aktivitas manusia punya hukum kausalitas. Jika eksploitasi sumber daya alam berbasis industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur skala besar terus massif, maka banjir, longsor dan bencana ekologis lainnya akan terus kita tuai. Korbannya seluruh masyarakat Bengkulu tanpa terkecuali,” katanya.

Menurut Uli, untuk meminimalisir bencana ekologis ini salah satunya adalah memperhatikan wilayah-wilayah genting dan mempunyai fungsi penting. Seperti hutan di sepanjang Bukit Barisan, tidak untuk pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar.
“Jika tingkat deforestasi hutan terus meningkat, maka selama itu juga banjir dan longsor akan terjadi. Penataan ruang menjadi hal yang penting dan strategis untuk disusun lebih bijak dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan” ujar Uli.
Selain tidak menerbitkan izin baru di kawasan penting di sepanjang bentang alam Bukit Barisan, pemerintah juga harus mengevaluasi izin pertambangan dan perkebunan skala besar di wilayah bagian hulu.
Uli menegaskan, pmerintah memiliki kewenangan untuk menindak tegas perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dan aturan yang berlaku. Perusahaan pun berkewajiban menjaga kawasan High Conservation Value (HCV).
Penanganan cepat wilayah yang terdampak banjir juga menjadi penting untuk segera dilakukan. Seperti bantuan logistik makanan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya yang mendesak.
Uli mengatakan, penanganan cepat ini akan meminimalisir bertambahnya korban jiwa.
“Yang harus diingat adalah, alam punya keterbatasan untuk menampung aktivitas yang bersifat eksploitatif terhadap tubuhnya. Dan alam memiliki keterbatasan untuk memulihkan dirinya,” pungkas Uli.
*****