
Barakata.id, Blitar (Jatim) – Walapun Pengadilan Negeri (PN) Blitar telah mengabulkan gugatan warga Kecamatan Wlingi dan Doko akibat limbah yang dihasilkan PT Greenfields yang mencemari sungai dan tanah warga, persidangannya harus di pantau secara ketat.
Karena, menurut Dewan Daerah Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Purnawan D, gugatan class action ini merupakan kasus pencemaran lingkungan pertama yang di sidangkan oleh PN Blitar.
Sehingga, Purnawan meminta kepada PN Blitar untuk hakim yang menyidangkan kasus tersebut harus hakim yang bersertifikasi lingkungan dan tidak sembarangan.
“Walhi Jatim akan memantau proses persidangan perkara gugatan warga Kabupaten Blitar pada PT Greenfields dan Gubernur Jawa Timur, terkait tuntutan ganti rugi akibat limbah yang dihasilkan perusahaan tersebut mencemari sungai dan tanah warga,” ujarnya seperti di kutip dari lenteratoday, Rabu (7/7/2021).
Disamping itu, Purnawan juga meminta kepada PN Blitar untuk tidak melakukan kebohongan publik terkait hakim yang memimpin persidangan. Sebab, kata dia, bisa dicek track recordnya melalui Komisi Yudisial, apakah benar memiliki sertifikasi lingkungan atau tidak.
“Jangan sampai PN melakukan kebohongan publik, karena tidak semua orang tahu untuk kasus lingkungan harus disidangkan oleh hakim bersertifikasi lingkungan,” tuturnya.
Kemudian ia menjelaskan, adapun dasar kasus lingkungan hidup, harus disidangkan hakim bersertifikasi lingkungan hidup, yakni sesuai Surat Keputusan Mahkamah Agung (SKMA) No.134/KMA/SK/IX/2011, Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, apabila di PN tersebut tidak ada hakim bersertifikat lingkungan, maka, kata dia, PN Blitar bisa meminta atau mengajukan melalui Pengadilan Tinggi (PT) Jatim di Surabaya untuk meminjam (Detasiring) hakim bersertifikasi lingkungan hidup dari PN sekitarnya.
“Berdasarkan data dari hakim bersertifikasi lingkungan hidup tahun 2020, untuk di PN Blitar sepertinya tidak ada adanya di Kediri dan Tulungagung,” terangnya.
Melihat kasus PT Greenfields bukan perdata biasa, Walhi Jatim mengancam akan melaporkan ke Komisi Yudisial jika PN Blitar tidak menyidangkan kasus tersebut sesuai aturan Mahkamah Agung (MA).
“Karena hal ini akan menjadi preseden, dalam menyidangkan perkara lingkungan hidup lainnya,” tandas Purnawan.
Lebih lanjut, Purnawan juga meminta kepada advokat yang membela masyarakat ini, apakah perkara ini sudah diberikan kode Lingkungan Hidup (LH) oleh panitera atau tidak. Kalau belum harus di mintakan. Karena untuk membedakan kasus ini dengan kasus perdata lainnya.
“Lalu, persidangan akan dipantau Walhi bersama masyarakat pecinta lingkungan lainnya, karena menyangkut lingkungan dan lingkungan hidup adalah hak azasi,” urainya.
Masih di kutip dari lenteratoday, di konfirmasi terpisah, Joko Trisno Mudiyanto selaku pengacara ratusan warga yang menggugat mengatakan, bahwa pihaknya dalam mengajukan gugatan nomor registrasi perkaranya memang tidak ada kode LH. Namun, pihaknya sudah mengatakan kalau ini perkara kasus perdata lingkungan hidup.
Sedangkan terakit majelis hakim yang menyidangkan, juga harus yang memiliki sertifikasi lingkungan hidup, “kami sudah paham dan akan meminta majelis hakim yang bersertifikat lingkungan,” tegasnya.
Kemudian sekedar informasi, menurut catatan, ada 258 Kepala Keluarga (KK) yang menggugat PT Greenfield dan Gubernur Jawa Timur. Selain itu, turut tergugat yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur.
Dari tuntutannya, mereka menuntut ganti rugi materiil dan immateriil dengan total miliaran rupiah. Gugatannya sudah didaftarkan ke PN Blitar, pada Senin (5/7/2021) lalu dengan nomer perkara : 77/Pdt.G/PNBlt dan jadwal sidang pertama pada 21 Juli 2021 mendatang.
Jelasnya, warga yang menggugat adalah dari kelompok petani, peternak ikan, peternak kambing dan sapi, serta masyarakat biasa pengguna air sungai.
Sementara, besarnya gugatan materiil bervariasi. Mulai dari Rp 2.400.000 per 2 tahun untuk 1 ekor ternak kambing dan 1 ekor sapi Rp 4.800.000 per 2 tahun. Sedangkan kerugian peternak ikan mulai Rp 40 juta per 2 tahun.
Lalu, untuk petani kerugiannya Rp 3 juta per 2 tahun dan warga yang kehilangan pekerjaan akibat dampak limbah Rp 6 juta per 2 tahun. Kemudian gugatan kerugian immateriil sebesar Rp 100 juta per KK.
Penulis : Achmad Zunaidi