
Batam – Pemerintah pusat sudah resmi mencabut pembebasan pengenaan cukai di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) alias free trade zone (FTZ) di wilayah Batam, Bintan dan Karimun (BBK) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Penghapusan fasilitas fiskal itu berlaku untuk barang kena cukai (BKC) seperti rokok, etanol dan minuman yang mengandung etil alkholol.
Meski kalangan usaha menganggap kebijakan itu merugikan, tapi Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad yakin hal itu tidak akan mempengaruhi perekonomian di kota tersebut. Alasan dia, karena untuk rokok dan minuman beralkohol (mikol) tak bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat umum.
Menurut Amsakar, kebijakan tersebut justeru baik untuk menahan penggunaan mikol atau rokok yang tidak ada cukainya di Batam. Amsakar bilang, “kedua barang itu bukanlah komoditas pendukung industri, dan bukan juga barang yang harus dikonsumsi masyarakat”.
“Barang ini kan konsumsinya terbatas. Relatif tidak bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat secara umum. Saya meyakini ini tidak akan terpengaruh terhadap ekonomi di Kota Batam,” ujarnya di Batam, akhir pekan lalu.
Malah, lanjut Amsakar, “apabila cukai diberlakukan, negara akan mendapat manfaat dari komoditas yang secara khusus dibunyikan wajib cukai tersebut”.
“Tapi karena di Batam ada tafsir perluasan terhadap barang konsumsi, sampai rokok dan mikol pun harus dibebaskan dari cukai,” kata dia.
Amsakar menegaskan, kebijakan penerapan cukai terhadap dua jenis barang ini diambil berdasarkan atas kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil kajian itu mempertanyakan kenapa rokok dan mikol harus diberikan pembebasan cukai.
“Itulah sebabnya, menurut saya, hal ini tidak berdampak negatif pada perekonomian Batam,” katanya.
Baca Juga : Bebas Cukai di Kawasan FTZ BBK Resmi Dicabut
Terpisah, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun mengatakan, pemerintah pusat tentu mempunyai pertimbangan memutuskan mencabut bebas cukai FTZ tersebut. Ia menilai, dampak dari kebijakan itu akan dilihat setelah dilaksanakan beberapa waktu ke depan.
“Kami tidak menyatakan dukungan atau menolak keputusan itu, masih kami pelajari,” katanya.
Nurdin menegaskan, keputusan mengenakan cukai itu hanya berlaku untuk rokok dan minuman alkohol. Ia berharap, keputusan tersebut tidak sampai mengganggu perekonomian Batam dan Kepri umumnya.
Bikin kacau sistem usaha
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, Jadi Rajagukguk, pekan lalu mengatakan, keputusan pemerintah pusat menghapus kebijakan bebas cukai di kawasan FTZ dapat mengacaukan sistem usaha di Batam, dan “membuat resah karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor”.
“Kebijakan tersebut membuat ketidakpastian dalam berusaha di Batam. Sistem perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Batam bisa porak-poranda,” katanya.
Menurut Jadi, banyak pengusaha yang mengeluhkan kebijakan penghapusan bebas cukai di kawasan FTZ ini kepada Kadin Batam. Mereka mengaku merugi lantaran Bea Cukai tidak lagi melayani CK-FTZ di KPBPB Batam.
“Kebijakan tersebut meresahkan pelaku usaha. Mereka mempertanyakan, karena kebijakan tersebut mendadak, tanpa ada sosialisasi,” katanya.
Menurut Jadi, jika ada potential loss dalam penerapan bebas cukai, semestinya pemerintah juga melihat potensi income yang diterima oleh negara dari FTZ. Seperti dari sektor pajak PPh Badan dan Perorangan, penyerapan tenaga kerja, devisa ekspor, transfer uang ke daerah hasil tenaga kerja, pelayanan BP Batam dari jasa dan perdagangan.
Termasuk PNBP, dan berbagai pelayanan lainnya yang dihitung sebagai pendapatan dari kebijakan FTZ di Batam.
“Seharusnya itu juga dihitung dong,” ujarnya.
Baca Juga : Penghapusan Bebas Cukai di Kawasan FTZ Bikin Resah Dunia Usaha
Jadi mengakui, fakta di lapangan memang ada barang yang seharusnya beredar di FTZ Batam merembes ke daerah non-FTZ. Tapi menurutnya, hal tersebut lebih pada pengawasannya atau law enforcement.
Soal kasus penyelundupan, menurut Jadi tidak hanya di Batam tapi juga terjadi hampir di setiap pelabuhan di Indonesia.
“Ini kan soal pengawasan. Jangan karena ada tikus di rumah, rumah yang dibakar. Karena ada rembesan ke non-FTZ kemudian mengeluarkan kebijakan yang merugikan pengusaha dan menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha,” tegasnya.
*****