

Batam – Keputusan pemerintah pusat menghapus kebijakan bebas cukai di kawasan free trade zone (FTZ) dinilai akan mengacaukan sistem usaha di Kota Batam. Kebijakan itu pun dirasa meresahkan karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor.
“Kebijakan tersebut membuat ketidakpastian dalam berusaha di Batam. Sistem perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Batam bisa porak-poranda,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, Jadi Rajagukguk, Minggu (19/5/2019).
Menurut Jadi, banyak pengusaha yang mengeluhkan kebijakan penghapusan bebas cukai di kawasan FTZ ini kepada Kadin Batam. Mereka mengaku merugi lantaran Bea Cukai tidak lagi melayani CK-FTZ di KPBPB Batam.
“Kebijakan tersebut meresahkan pelaku usaha. Mereka mempertanyakan, karena kebijakan tersebut mendadak, tanpa ada sosialisasi,” katanya.
“Jumat kemarin, saya menghubungi Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi, menanyakan terkait nota dinas tersebut, dan rencananya pekan depan akan bertemu untuk mendiskusikan masalah ini,” kata Jadi.
Terkait kajian KPK terhadap status FTZ Batam, termasuk rangkap jabatan ex-officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, lanjut Jadi, hal itu pernah disampaikan Litbang KPK dalam pertemuan bersama Kadin Batam dan Kadin Kepri. Namun, KPK tidak secara detail memaparkan isi kajiannya, hanya soal potential loss akibat kebijakan FTZ di Batam.
“Kajian FTZ Batam oleh KPK juga akan kami pelajari, termasuk tentang potential loss yang disebutkan KPK hingga Rp111 triliun. Itu dasar hitungan dan kajiannya seperti apa? Kadin Batam perlu mempertanyakan, karena KPK bukan lembaga kajian pusat studi seperti LPEM UI, UGM, dan INDEF,” katanya.
Menurut Jadi, jika ada potential loss semestinya juga dilihat potensi income yang diterima oleh negara dari FTZ Batam. Seperti dari sektor pajak PPh Badan dan Perorangan, penyerapan tenaga kerja, devisa ekspor, transfer uang ke daerah hasil tenaga kerja, pelayanan BP Batam dari jasa dan perdagangan. Termasuk PNBP, dan berbagai pelayanan lainnya yang dihitung sebagai pendapatan dari kebijakan FTZ di Batam.
“Seharusnya itu juga dihitung dong,” ujarnya.
Jadi mengakui, fakta di lapangan memang ada barang yang seharusnya beredar di FTZ Batam merembes ke daerah non-FTZ. Tapi menurutnya, hal tersebut lebih pada pengawasannya atau law enforcement. Termasuk soal kasus penyelundupan, menurut Jadi tidak hanya di Batam tapi juga terjadi hampir di setiap pelabuhan di Indonesia.
“Ini kan soal pengawasan. Jangan karena ada tikus di rumah, rumah yang dibakar. Karena ada rembesan ke non-FTZ kemudian mengeluarkan kebijakan yang merugikan pengusaha dan menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha,” tegasnya.
Jadi pun mempertanyakan kebijakan KPK yang merembet ke jalur politik terkait wacana pembubaran Badan Pengusahaan (BP) Batam. Menurut dia, hal itu bukan kewenangan KPK.
“Mengapa KPK tidak menyinggung analisanya tentang rangkap jabatan (ex-officio) kepala daerah. Itu (rangkap jabatan) merupakan pelanggaran undang-undang dan maladministrasi sesuai kajian Ombudsman RI,” kata dia.
Tanggapan Gubernur Kepri
Dari Tanjungpinang, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun mengatakan, pihaknya akan mempelajari keputusan pemerintah pusat serta dampak yang ditimbulkan terkait dicabutnya gratis cukai di wilayah FTZ di Batam, Bintan, Karimun (BBK).
Menurut Nurdin, pemerintah pusat tentu mempunyai pertimbangan memutuskan mencabut bebas cukai FTZ tersebut. Ia menilai, dampak dari kebijakan itu akan dilihat setelah dilaksanakan beberapa waktu ke depan.
“Kami tidak menyatakan dukungan atau menolak keputusan itu, masih kami pelajari,” katanya.
Nurdin menegaskan, keputusan mengenakan cukai itu hanya berlaku untuk rokok dan minuman alkohol. Ia berharap, keputusan tersebut tidak sampai mengganggu perekonomian Kepri.
Nurdin mengatakan, pemerintah pusat sudah memutuskan untuk mengenakan lagi cukai di FTZ mulai, Jumat (17/6/19). Alasan dikeluarkannya keputusan tersebut berdasarkan rekomendasi KPK yang melihat peredaran rokok dan minuman beralkohol di kawasan FTZ sudah tidak terkontrol lagi.
*****