Awalnya, kelahiran film Mother! disebut sebagai sesuatu yang menjanjikan. Itu lantaran kombinasi antara Jennifer Lawrence – sebagai aktris papan atas Hollywood – dengan Darren Aronofsky yang dikenal sebagai sutradara revolusioner.
Tapi ternyata tidak. Film ini malah hanya dipenuhi karakter yang hambar, dan pesan-pesan moral serta Alkitab yang terasa dipaksakan.
Film baru itu “tidak jelas mau dibawa ke mana,” sebut Caryn James – kritikus film.
Ia bahkan menyebut film ini pretensius dan kacau balau.
Darren Aronofsky pernah bercerita tentang bagaimana berbagai masalah yang terjadi di dunia, mulai dari isu lingkungan hingga krisis pengungsi, menginspirasinya untuk membuat film horor psikologis Mother!
“Suatu hari saya terbangun dengan segala ide itu membuncah di otak, meminta untuk dijadikan film,” kata Aronofsky.
Di film itu, Jennifer Lawrence berperan sebagai seorang istri. Suaminya, Javier Bardem, adalah seorang penyair yang sedang kehabisan ide tulisan.
Kita tidak tahu siapa nama kedua karakter ini – pertanda awal betapa buruknya Mother!
Tapi menurut Aronofsky, itu dilakukannya supaya kedua karakter lebih terasa universal.
Pasangan tersebut tinggal di sebuah rumah yang terletak jauh dari mana-mana: jenis rumah yang tampaknya cuma ada di film horor.
Karakter yang diperankan Ed Harris yang misterius pun kemudian menjadi tamu di rumah itu. Lalu, mengapa sang suami mengundang Harris untuk menginap?
Tak lama, istri Harris, diperankan Michelle Pfeiffer, juga datang bertamu, membuat atmosfer rumah ini menjadi semakin aneh. Pfeiffer bertanya kepada Lawrence berbagai pertanyaan pribadi, dan bercinta dengan Harris dengan pintu yang dibuka, sengaja untuk mempertontonkan diri mereka.
Tak bisa ditampik, Aronofsky dengan piawainya mampu menghadirkan ketegangan. Kamera bergerak pelan seperti mengintai rumah, sambil mengikuti Lawrence yang kebingungan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi itu cuma sebentar. Aronofsky pun seperti tidak sabar menghujani film ini dengan berbagai simbolisme dan kiasan-kiasan dari alkitab.
Tidak hanya itu, sangat banyak bagian film yang rasanya terinspirasi dari film Rosemary’s Baby, membuat Mother! kadang lebih terasa seperti pembuatan ulang film horor klasik itu.
Rumah mereka kemudian hangus terbakar. Bardem pun mengambil sebuah batu kristal dari rumah yang telah hangus.
Plot orang-orang datang menyerbu rumah pun muncul. Dua di antaranya adalah laki-laki bersaudara, yang terkesan bagaikan Habil dan Qabil, putra Adam.
Karakter Lawrence lalu hamil. Suaminya kemudian berubah mirip sekali seperti karakter yang diperankan John Cassavetes dalam Rosemary’s Baby: akan mengorbankan apapun agar misinya tidak diganggu gugat. Termasuk mengorbankan istrinya.
Tidak jelas dibawa ke mana
Sebenarnya gampang untuk mengikuti Mother! Namun, plot yang dibuat haruslah menuju ke suatu kesimpulan, tidak harus meyakinkan atau memenuhi standard film horor, tapi harus mengarah ke suatu simpulan.
Namun, seiring berjalannya waktu, film ini malah menjadi semakin berlebihan. Horor dan nilai relijius yang ingin disampaikan, disajikan tanpa ironi.
Terasa sekali film ini kebanyakan tema. Semula, Mother! berkisah tentang ketenaran dan karya seni.
Lalu isu gender muncul ketika karakter Lawrence diceritakan mau mengorbankan apapun untuk menjadi inspirasi idaman Bardem. Bardem ternyata memang ingin mengeksploitasi istrinya. Soal agama hadir belakangan.
Terlalu banyak yang ingin dituturkan, tetapi tidak ada satu pun pesan dan tema itu yang tersampaikan dengan matang.
Meskipun begitu, Aronofsky, yang pernah membuat Black Swan yang surealis dan The Wrestler dengan begitu realistisnya, tentu adalah sineas handal. Gaya visual Mother! mempertontonkan kemampuannya itu.
Bahkan di satu adegan tampak rumah Lawrence dan Bardem yang terbakar, mulai beregenerasi, terbangun lagi, seakan-akan rumah itu adalah makhluk hidup. Menakjubkan melihatnya.
Ide sang sutradara menjadikan sudut pandang Lawrence sebagai sudut pandang penonton, juga berhasil membuat penonton bersimpati. Meskipun kadang kita bingung, apakah yang sedang disaksikan adalah mimpi atau realita.
Misalnya ketika Lawrence menekan dinding yang tiba-tiba berdenyut dan diikuti rembesan darah di lantai. Apakah Lawrence ini gila? Apakah dia benar-benar nyata?
Tapi pada akhirnya, meskipun Lawrence memberikan penampilan berkelas, karakter yang diperankannya justru adalah masalah terbesar film ini. Karakternya datar, dua dimensi, tidak cukup untuk menanggung beban simbolisme agama dan lain-lain yang ingin dihadirkan Aronofsky.
Dia tampak memang berniat ingin mengorbankan dirinya untuk sang suami, tetapi buat apa? Mengapa itu begitu penting baginya? Kita tidak tahu.
Yang kita tahu hanyalah Aronofsky ingin membuat karakter Lawrence seperti itu. Mungkin, itulah pesan sebenarnya dari film ini, bahwa penulis-sutradara film ini adalah Tuhan yang sebenarnya.
Tetapi tentu itu hanya bisa dibahas di diskusi yang lain lagi.
*****
Sumber : BBC Indonesia