Beranda Urban Catatan

VITAMIN “B”

241
0
Wahyu Hidayat
Wahyu Hidayat
DPRD Batam

Sebuah kamar tanpa buku bagaikan tubuh tanpa jiwa (Marcus T. Cicero).

JIKA negara ini mau berdiri di barisan yang sama dengan negara-negara maju, maka mutlak memerlukan asupan vitamin “B”. Harus banyak-banyak mengonsumsi vitamin “B”.

Penulis : Wahyu Hidayat

Apa vitamin “B” yang saya maksud? Tidak lain adalah: baca. Bukankah republik ini bisa ada berkat perjuangan orang-orang yang membaca. Yang keranjingan membaca. Membaca itu ada di laju revolusi. Revolusi tak cuma omongan dan keringat. Revolusi bergerak di kertas kertas berhuruf.

Bagi para tokoh bangsa, membaca itu ibarat bernapas dan buku adalah udaranya. Udara yang setiap saat harus dihirup. Mereka memiliki kebiasaan membaca secara tekun. Sejarah sudah menceritakan itu kepada kita.

Lihat bagaimana Soekarno memperlakukan buku. Sampai-sampai ia harus menyediakan satu meja buku di toilet rumahnya. Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia ini memang gemar membaca buku sejak muda. Ketika anak-anak yang lain bermain, Bung Karno justru sibuk membaca buku. Ia merasa membaca membuatnya seperti bertemu dengan para tokoh besar dan mendengarkan pemikiran-pemikiran mereka.

Bapak proklamator lainnya, Muhammad Hatta, adalah juga sosok yang dikenal sangat menggilai buku. Buku adalah bagian dari hidupnya. Sejak kecil si lelaki pendiam itu sudah hobi membaca. Kebiasaan ini senantiasa menyala dalam jiwanya hingga ujung hayatnya.

Sosok Hatta tidak bisa dilepaskan dari buku. Ia keranjingan pada buku. Yang sudah sampai pada tingkat posesif. Tentu posesif yang positif. Lihat saja ketika Hatta meminang perempuan pujaannya, Rahmi Rachim. Pria kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902 itu memberikan mas kawin berupa buku. Buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” tersebut adalah tulisannya sendiri.

Pria bernama asli Muhammad Athar itu memang tidak bisa dipisahkan dari buku. Saat berada dalam tempat pengasingan di Banda Neira, Hatta membawa serta 16 peti buku koleksinya. Ia pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Habibie, presiden RI ke 5 juga adalah tokoh bangsa yang rajin mengonsumsi vitamin “B”. Pria jenius kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, ini mengaku sejak kecil sudah menjadi kutu buku. Hingga akhir hayatnya, Habibi masih bersetia dengan buku.

Tentu masih banyak tokoh-tokoh nasional progresif lain yang memiliki kegemaran akan membaca buku.

Lalu bagaimana manusia Indonesia hari ini, sudahkah menjadi umat buku yang taat, yang memiliki spirit baca yang menyala-nyala sebagaimana yang semangat baca yang pernah hidup dalam jiwa para tokoh bangsa?

Mari kita lihat data perihal kebisaan membaca orang-orang Indonesia.

– UNESCO pernah menyebut, posisi membaca Indonesia 0,001 persen. Itu artinya dari 1.000 orang hanya satu orang yang rutin membaca buku.

– Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, pada 2012 budaya literasi di Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara yang disurvei.

– Data Central Connecticut University menyebut, tahun 2016 Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 dunia. Hanya unggul dari negara Botswana, negara terasing di Benua Afrika.

– Penelitian Perpusnas tahun 2017 menunjukkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia adalah 36,48 persen atau rendah.

Data di atas bukan sekadar angka atau statistik belaka. Data tersebut menunjukkan betapa kita tertinggal dari negara-negara lainnya, bahkan oleh negara-negara tetangga. Lalu apa yang harus kita lakukan? Jawabannya mudah: rajin-rajin mengonsumsi vitamin “B”. Jawabannya memang mudah tapi pelaksanaannya yang susah. Itulah penyakit kita. Atau penyakit orang-orang yang malas membaca.

Ini era modern. Zaman digital. Di gawai, informasi apa saja tersedia. Yang penting kita cerdas literasi. Tidak asal comot. Tidak main unduh secara sembrono. Sekarang banyak situs yang menyediakan buku (ebook). Kita tinggal unduh, dalam hitungan detik, selesai. Perpustakaan online tersedia. Perpustakaan offline, terlepas dari segala kurangnya, juga ada di mana-mana. Jadi sulit rasanya menerima alasan manusia yang hidup di zaman ini yang malas membaca buku dengan alasan buku tidak ada.

Ingat, negara maju membangun peradabannya dari membaca. Sekadar sebagai pembanding lihat saja negara-negara yang maju peradabannya itu tidak lain karena curahan pikiran pengelola negara yang fokus tercurah pada budaya membaca. Kemudian ada kesadaran warganya untuk membaca.

Semangat membaca perlu. Ia adalah kebutuhan. Bahkan kebutuhan primer. Meskipun harus kita akui bahwa tidak semua pembaca adalah benar-benar pembaca. Pembaca yang posesif, pembaca yang “gila”, pembaca yang menjadi kutu buku, pembaca sejati, atau apapun namanya.

Perihal tipikal pembaca ini, saya membaginya menjadi enam, yakni: pembaca iseng, pembaca pragmatis, pembaca Senin Kamis, pembaca tidak ikhlas, pembaca moody, dan pembaca tulus dan serius. Maka mari kita berusaha menjadi jenis terakhir itu. Sejarawan terkemuka, Louis Gotschalk mengatakan, seratus orang penenteng buku, tidak lebih berharga dari seorang pembaca yang serius.

Sudah saatnya Indonesia memiliki pembaca-pembaca yang serius, supaya produksi bacaan pun semakin bagus. Begitu saran Eka Budianta, salah seorang penyair.

Dan akhirnya mari banyak-banyak mengonsumsi vitamin “B” biar kita cerdas agar bangsa cerdas.

Selamat hari buku sedunia!

*****

Penulis adalah pria yang suka membaca dan menulis. Ia pernah bekerja sebagai jurnalis, dan kini juga mengajar di kampus.

Tulisan menarik lainnya dari penulis:
Virus Corona, Orang Gila dan di Rumah Aja

Imam Syafi’i, Wabah, dan Telur Rebus