Beranda Urban Traveling

Pelaminan dan Peterakne, Simbol Keagungan dari Bumi Melayu

1639
0
Pelaminan Adat Melayu
Pelaminan adat Melayu
DPRD Batam

Pelaminan dan Peterakne sebuah simbol keagunan dari bumi melayu, Masyarakat kebanyakan menyebut pelaminan adalah tempat sepasang pengantin bersanding. Namun, bagi masyarakat Melayu, ada sesuatu yang lebih dari itu.

Pernahkah Anda melihat atau menghadiri acara pernikahan yang menggunakan adat Melayu? Jika pernah, tentu Anda akan melihat warna kuning begitu mendominasi.

Ikuti saluran Barakata.id di WhatsApp klik disini

Tapi sebenarnya, ada warna-warna lain selain kuning yang juga punya makna tersendiri dalam tatacara pernikahan bangsa Melayu.

Pengaruh dan jejak budaya Kesultanan Riau, Lingga, Johor, dan Pahang di Kota Batam memang kuat. Meskipun kesultanan itu telah berakhir pada tahun 1913 silam.

Salah satu pengaruh dan jejak budaya yang ditinggalkan adalah terkait adat upacara perkawinan.

Warna kuning yang sangat dominan pada upacara perkawinan adat Melayu memang tak bisa ditampik. Warna itu melekat baik itu di area pelaminan, hingga dekorasi lainnya.

Namun, selain warna kuning, ada dua warna lain yang juga tak pernah luput dari gawai orang Melayu, yakni hijau dan merah.

Tabir berwarna kuning, hijau, dan merah, yang disebut dengan tabir belang, digunakan untuk mengelilingi ruangan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan adat Melayu. Di langit-langit, terdapat hiasan bernama kondas, serta hiasan seperti lidah berwarna keemasan. Keduanya itu menambah kesan mewah.

Pelaminan juga bermakna tempat tidur pengantin

Tempat tidur pengantin adat melayu
Tempat tidur pengantin Adat Melayu

Bagi masyarakat Melayu, pelamin bukan sekadar tempat pengantin duduk bersanding. Pelaminan juga bermakna tempat tidur pengantin.

Di sekelilingnya, dihias dengan tabir belang, artinya tabir berwarna warni.

Kemudian, ada tabir pukang ayam, berjumlah tiga tabir yang di dalamnya terdapat tabir gulung namun tidak kelihatan.

Cara menurunkan tabir gulung ke bawah menggunakan kayu, namun baru diturunkan saat pengantin akan tidur.

Di tabir pukang ayam itu terdapat sulam tekat, yang berupa motif dari kertas prada atau benang songket yang disulam. Motifnya, menyesuaikan lambang Islam, yakni bulan bintang. Susunan bantal juga menghias di pelamin, terdapat empat bantal gadok, delapan bantal seraga, bantal telur buaya dan bantal sandar. Tak lupa, dilengkapi bantal guling, serta kasur.

“Inilah yang disebut dengan pelamin atau tempat tidur,” kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Muhammad Zen di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam, kemarin.

Zen menunjukkan, di pelamin terdapat ulas atau tangga bermotif kertas prada atau kuningan. Warna ulas sendiri berwarna hijau dan motifnya berwarna keemasan dan kainnya berwarna merah. Pada ulas yang menyentuh lantai tidak diberikan motif, hanya kain saja disebut gerai.

“Pada zaman dulu, pelamin ini dengan tempat bersanding itu berhadapan seperti terdapat di Rumah Limas Potong di Batubesar, Nongsa, yang disekat menjadi dua. Dalam kamar itulah dibuat pelamin dan tempat bersanding, kemudian di sekelilingnya dihiasi tabir,” kata dia.

Peterakne dan tepung tawar

Peterakne dan tepung tawar Adat Melayu
Peterakne dan tepung tawar Adat Melayu

Pelaminan tempat bersanding pengantin juga bertingkat-tingkat. Dalam bahasa Melayu, disebut peterakne, yang terbagi dari tiga kata. Yakni, pe yang artinya peti atau kotak, rak artinya bertingkat, dan ne artinya lebih dari satu.

Jumlah tingkatan peterakne harus ganjil karena Melayu identik dengan budaya Islam yang banyak menggunakan angka ganjil, serta dihias dengan tekat.

Jumlah tingkatan, misalnya tiga, pada umumnya untuk para datuk. Sedangkan lima tingkatan, untuk kerabat Sultan. Bantal sadok berada di belakangnya dan tempat bersandar. Kemudian, tabir selak terdapat di kiri dan kanan. Dalam tempat bersanding ini, yang wajib ada adalah peti atau kotak.

Berbeda dengan sekarang, zaman dahulu hanya pengantin yang bersanding. Fungsi dari peterakne ini adalah tempat acara tepuk tepung tawar, makan bersuap, setelah itu makan berhidang di bawah pelamin.

Kedua pengantin makan Nasi Besar atau pulut kuning, saat duduk di atas peterakne atau pelamin.

Saat menyuap, dilakukan dengan suapan yang sangat sedikit. Acara saling suap itu dibimbing oleh Mak Andam, dilakukan sebanyak tiga kali bergantian.

Urutannya, istri kepada suami dan suami kepada istri. Setelah itu, suaminya mengajak istrinya turun dari peterakne dengan mengaitkan kedua kelingking.

“Di bawah pelamin untuk makan berhadapan, didampingi oleh Mak Andam, yang artinya pelayanan istri terhadap suami setelah menikah,” ujar Zen.

Seperti kebanyakan tempat bersanding dari daerah lain, terdapat payung pengantin. Dalam budaya Melayu, juga terdapat payung yang terletak di sebelah kiri dan kanan peterakne.

“Payung ada, namun payungnya ditutup, tidak boleh dikembangkan. Kalau berarak, baru payung dikembangkan. Warna payungnya warna kuning, melambangkan ciri khas Melayu,” katanya.

Pada pelamin Melayu, memiliki warna kebesaran yakni kuning, hijau, biru, hitam, dan merah. Untuk warna kuning, untuk kerabat sultan dan anak-anaknya. Warna hijau untuk para alim ulama, biru untuk pembesar istana, warna merah untuk laksmana dan panglima, sementara hitam untuk pemangku adat.

Sementara di Malaysia, menurut Zen, terdapat perbedaan menurut kesepakatan daerah masing-masing. Sultan itu bertempat tinggal di Lingga, Yang Dipertuan Muda atau sekarang seperti Perdana Menteri.

Sementara yang di Batam, berkedudukan Temenggung. Temenggung ini adalah orang pembesar istana bertempat di Pulau Bulang.

“Temenggung Abdul Jamal adalah waris dari Kesultanan Johor, warna kebesarannya warna biru. Makanya Sultan Johor itu tidak memakai warna kuning bajunya, dia hanya menggunakan warna biru. berbeda dengan keturunan Pahang karena keturunan bendahara,” ungkapnya.

Kepala Disbudpar Batam, Ardiwinata mengatakan, Batam masih lekat dengan kebudayaan Melayu. Seperti, pada kulinernya, adat perkawinannya, dan busananya.

Ardi mengajak masyarakat untuk senantiasa mencintai budaya Melayu. Seperti, saat acara pernikahan. Kemudian Nasi Besar yang dibuat dari pulut kuning dan dihidangkan saat perayaan kebesaran seperti acara bertambahnya usia, pernikahan, dan sebagainya.

Dengan demikian, lanjut Ardi, budaya Melayu selalu hadir dan ada di tengah masyarakat Batam. Karena itu, pihaknya akan mendorong agar lebih banyak warga Batam yang melestarikan kebudayaan Melayu pada setiap acara.

“Bagi yang ingin mengetahui tentang pelamin, peterakne dan kebudayaan Melayu, bisa datang ke Kantor Disbudpar Batam di Gedung LAM, Batam Centre. Kami akan menjelaskan detailnya,” kata dia.