

Barakata.id- Pantun ditetapkan sebagai warisan budaya dunia takbenda. UNESCO menetapkannya dalam sidang di Paris, Prancis pada 17 Desember 2020.
Pantun diakui UNESCO sebagai tradisi budaya ke-11 Indonesia. Pengakuan ini menyusul pencak silat yang lebih dulu diakui sebagai budaya takbenda pada 12 Desember 2019.
Baca Juga:
Pemantun Pernikahan, Menjaga Tradisi Pantun di Bumi Kepri
Penetapan itu disebut Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid jadi langkah awal untuk melestarikan tradisi pantun.
“Ini bukan merupakan akhir perjuangan, melainkan langkah awal kita semua untuk melestarikan tradisi mulia ini,” ujarnya, dikutip dari laman resmi kemdikbud, Sabtu (19/12/20).
Hilmar mengatakan pantun ditetapkan sebagai warisan takbeda karena dinilai punya arti penting bagi masyarakat Melayu. Tak hanya jadi alat komunikasi tapi juga kaya dengan nilai-nilai panduan moral.
Menurut dia, pantun menjadi wadah untuk menuangkan ide, menghibur dan berkomunikasi antarmanusia tanoa membedakan ras, kebangsaan atau agama.
“Tradisi Pantun mendorong rasa saling menghormati antarkomunitas, kelompok, dan individu,” jelasnya.
Keberhasilan penetapan pantun sebagai warisan budaya dunia takbenda ini tak lepas dari keterlibatan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan berbagai komunitas. Diantaranya Asosiasi Tradisi Lisan, Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dandung Moro, Komunitas Joget Dandung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, serta para individu dan pemantun Indonesia.
Tak hanya Indonesia, Malaysia juga mengajukan pantun sebagai tradisi. Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Surya Rosa Putra mengatakan pihak UNESCO mengakui pantun punya arti penting bagi Indonesia dan Malaysia.
“(Pantun) merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya, dan tradisi Melayu,” ujarnya.
Dengan penetapan itu, Hilmar meminta untuk melestarikan pantun dengan cara mengajarkannya secara formal di sekolah dan lewat kegiatan seni. Demikian pula saat membuka dan menutupa acara, baik formal maupun nonformal.
“Pantun dapat digunakan oleh siapapun dan dimanapun. Jangan malu dan sungkan untuk berpantun,” pesan Hilmar.
Di beberapa provinsi yang kental dengan adat dan budaya Melayu pantun memang menjadi tradisi. Contohnya di Riau dan Kepualaun Riau (Kepri). Di dua provinsi itu pantun selalu dipakai pada acara formal. Pejabat daerah selalu menggunakannya saat membuka dan menutup salam. Untuk acara-acara yang berkaitan dengan adat, pantun juga masih dipakai, misalnya dalam acara perkawinan.
Mengutip laman resmi Pemprov Kepri, Sabtu (6/7/19), untuk di wilayah Pulau Bintan saja, jumlah Pemantun Pernikahan ada sekitar 20 orang. Mereka tersebar di Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Baca Juga:
Yuk Mengenal Gasing, Warisan Budaya di Bumi Melayu
Di Kota Batam Provinsi Kepri, pantun bersama tradisi dan budaya khas Melayu lainnya seperti tari jogi, lendot, roti kirai telah didaftarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dipatenkan jadi tradisi dan budaya Batam.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam Ardiwinata mengatakan pihaknya sudah melakukan action degnan membuat pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Pokok-pokok pikiran itu dimasukkan dalam Perda Pemajuan Kebudayaan Melayu.
“Diantaranya sastra lisan, olahraga tradisional dan pertunjukan tradisional,” ujarnya dikutip dari laman resmi Dibudpar Batam, Kamis (5/9/19).
***
Editor: Asrul R