
Barakata.id, Catatan – Betapa tidak mudahnya menjadi manusia, mahluk yang begitu lengkap dengan kemampuan adaptasi yang tinggi. Ketika menjadi manusia kecil (bayi) bebas tertawa, menangis, bahkan pipis dan pup dimana dan kapan saja, karena ada manusia besar disekelilingnya yang akan mengurus semua itu dalam suka cita. Hingga kemudian dialah yang akan mengurus manusia kecil berikutnya.
Tentang menjadi manusia tahun demi tahun, hidup adalah dimana waktu merupakan bentangan jalan yang menjadikan hidup sebuah perjalanan. Perjalanan inilah yang membutuhkan peta dan kompas sebagai pemandu. Peta dan kompas itu bisa berwujud kisah-kisah sukses atau kegagalam sebuah kaum bisa juga perorangan, ada juga ajaran-ajaran kebaikan berupa nasehat-nasehat bijak dari para guru tetua, hingga ajaran agama dan keyakinan. Namun semua itu apakah telah mampu melahirkan sebuah utopia?
Tom Nichols seorang analis kebijakan publik dan pengajar hubungan Internasional di salah satu perguruan tinggi di Amerika, pada 2017 menerbitkan tulisannya yang diberi judul The Death of Expertise (matinya kepakaran), sebagai refleksi dari keprihatinan atas kondisi yang terjadi saat ini. Dimana semua merasa bisa dan benar dalam memberikan pendapat dan tanggapan bahkan analisis kritis terhadap apapun juga. Inilah sebuah gejala dari matinya kepakaran, orang tidak perduli lagi pada keahlian, dengan hanya mengandalkan bacaan dari internet dan blog-blog, bahkan percakapan di group-group WhatsAap mereka bisa menjelaskan akan sebuah fenomena. Hampir tak ada jarak antara sang pakar dengan orang yang hanya tahu percakapan singkat. Inilah yang menurut penulis membayar dengan ketidak punyaan.
Mereka-mereka yang merasa pintar (bukan ahli), ditambah lagi dengan posisi sosialnya yang mamadai dapat membangun argumen yang jauh dari landasan metodologi, dengan dalih akal sehat. Mereka tidak paham bahwa akal sehat (common sense) dapat menyesatkan. Mengapa begitu? karena akal sehat hanya semacam pedoman untuk menemukan kesimpulan dalam kehidupan sehari-hari tanpa metodology, artinya orang tidak perlu sekolah untuk bisa mengetahui dan menggunakan logika-logika pedestrian ini. Orang tidak perlu sekolah untuk tahu bahwa setelah matahari terbenam akan datang gelap yang disebut malam. Orang tidak perlu sekolah untuk tahu bahwa air yang dipanaskan akan mendidih dan bisa buat kopi atau tek manis.
Bahkan Akal sehat Aristoteles, sama kebanyakan manusia yang menganggap bahwa berat suatu benda akan mempengaruhi kecepatan jatuhnya, dengan kata lain makin berat benda itu, maka makin cepat jatuhnya ke bawah (mekanika Aristotelian). Logika pedestarian ini terbantahkan oleh percobaan Galileo Galilei pada kisaran tahun 1610, dimana Galileo Galilei menjatuhkan sebuah palu dan selembar bulu angsa dari atas menara pisa, hasilnya kedua benda itu jatuh pada waktu yang bersamaan. Tiga ratus enampuluh satu tahun kemudian, tepatnya 1971 Percobaan Galileo Galilei ini diulang oleh seorang astronot Apollo 15 (lihat Youtube Apollo 15 Hammer-Feather Drop-NASA), sang astronot menjatuhkan (melepaskan dari genggamannya) sebuah palu besi dan selembar bulu angsa di bulan. Hasilnya palu besi dan bulu angsa itu menyentuh permukaan dasar bulan (tanah), pada waktu yang bersamaan.
Dua percobaan yang sama dalam waktu dan tempat yang berbeda membuktikan bahwa common sense/akal sehat tidak selamanya bisa dijadikan rujukan utama. Manusia perlu metode yang terukur dalam kelogisan fakta. Dua hal ini membuktikan yang pertama bahwa logika akal sehat bisa saja sakit, yang kedua akal sehat tidak selalu bisa diandalkan untuk memecahkan hal-hal yang lebih metodis.
Makin masif kita saksikan seseorang yang tidak ahli mendebat dengan hebat seorang ahli dalam bidangnya. Sebagaimana yang dialami oleg Dr. Anthony Fauci director of the National Institute for Health’s yang sudah lebih 50 tahun bekerja dibidang kesehatan masyarakat dan menjadi kepala penasehat medis presiden Amerika Serikat, secara terbuka didebat bahkan diragukan pendapatnya oleh kelompok Donald Trump saat mengemukakan bahwa covid-19 adalah virus yang sangat mematikan, dan masyarakat secara total perlu di lookdown. Kelompok pendukung Trum berdalih bisa menemukan alternatif lain melalui internet selain lookdown.
Bukan hanya kisah Dr. Anthony Fauci sang pakar yang diabaikan pendapatnya, tapi banyak tokoh lain. Semisal ahli hadis (professor), didebat oleh orang yang hanya membaca rangkuman dari rangkuman tulisan. Dengan kekuatan follower yang mereka miliki sepertinya bisa membenarkan sebuah pernyataan yang hanya diolah oleh jargon akal sehat, dengan mengabaikan metode ilmiah yang lazim digunakan oleh para ahli dibidangnya.
Kondisi yang demikian inilah yang membayar dengan ketidakpunyaan. Tentu saja dengan menjadikan masyarakat sebagai alat pembenaran. Apakah masyarakat memang paham akan kepentingannya atau yang mereka butuhkan? jangan-jangan justru pihak lain yang merasa mengerti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga dengan tanpa sungkan berteriak bahkan bertindak atas nama masyarakat.
Dengan keleluasaan media sosial yang tak terbendung, menjadikan siapapun juga yang disenangi oleh masyarakat menjadi tenar dan diikuti, ditonton setiap aktifitas hidupnya, dan pada akhirnya diklaim sebagai pemilik kebenaran. Kekuatan representasi inilah yang mampu mengalahkan kompetensi. Hal ini sejalan dengan sistim demokrasi, dimana suara terbanyak menjadi penentu kemenangan. Kebenaran menjadi tidak penting dalam demokrasi, sebab bagaimanapun kebenaran itu disampaikan dalam situasi demokrasi, tetap tidak akan diterima.
Kondisi yang terlihat pragmatis ini, soalan utamanya ada pada kesetaraan akses atas informasi. Kebanyakan masyarakat saat ini mempunyai banyak infomasi, bahkan banjir informasi tanpa mengetahui metode lahirnya informasi tersebut. Berbeda dengan kalangan ahli yang mengeluarkan atau menerima sebuah informasi setelah memeriksa metodologinya secara runtun (kritik sumber).
Setiap informasi yang diterima begitu saja oleh masyarakat, akan menghadirkan reaksi hingga aksi yang sangat mungkin akan merugikan masyarakat itu sendiri. Bahkan tidak jarang kebanyakan masyarakat sengaja disuguhi informasi yang menyesatkan untuk memuluskan sebuah rencana dari kalangan tertentu. Sungguh membayar dengan ketidakpunyaan.
Penulis pikir perlu menyadarkan, minimal diri sendiri bahwa apa yang tampak atau terdengar itu belum tentu seperti apa yang kita pikirkan. Menyadari akan keleluasaan akses informasi, hendaknya dapat menjadi upaya dalam menyaring informasi yang selayaknya kita percayai. Dan terakhir jika kita tidak ahli dalam bidang itu, alangkah bijaksananya jika kita memilih pendapat dari sang ahli, dengan catatan dia benar-benar ahli/ilmuan, bukan ilmuan/ahli yang terbeli.
Baca catatan menarik lainnya di : Catatan Dr.Surianto