

Barakata.id, Batam – Suku Laut di Dapur Arang, Dapur arang merupakan tempat di mana kayu bakau diolah menjadi arang dan diekspor ke negara tetangga (biasanya ke Singapura). Sebagai bahan baku utama pembuatan arang, kayu bakau terus menerus diambil agar produksi arang terus berjalan.
Semakin tinggi produksi arang, berarti semakin tinggi pula ancaman terhadap ekosistem bakau. Menimbang hal itu, pemerintah kemudian memutuskan menutup dapur arang pada tahun 2006/2007.
Penutupan itu tak ayal membuat sebagian besar masyarakat Suku Laut kehilangan sumber mata pencahariannya. Pasalnya, bekerja di dapur arang adalah satu-satunya pekerjaan di sektor publik yang paling mungkin dimasuki oleh warga Suku Laut.
Meski sudah ada larangan dari pemerintah, tapi dapur arang di Batam tetap masih ada. Di beberapa kawasan pesisir masih ada yang beroperasi, walaupun harus “kucing-kucingan dengan aparat.
Salah satu yang masih beroperasi terdapat di Kampung Tua Tanjunggundap, Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Baca Juga : Melihat Vanuatu, “Pulau Surga” yang Terancam Tenggelam
Ini adalah sebuah dilema. Di satu sisi, keberadaan dapur arang dapat mengancam kelestarian hutan mangrove karena tingginya permintaan arang berbahan baku kayu bakau. Namun, di sisi lain, ia menjadi tempat bergantung masyarakat Suku Laut. Itu adalah sumber kehidupan mereka.
Masyarakat Suku Laut bekerja, mengolah dan membakar kayu bakau hingga menjadi arang secara manual. Butuh waktu sampai 27 hari bagi mereka untuk mengubah kayu bakau menjadi arang.
Lamanya proses pembuatan arang di dapur arang dikarenakan dikerjakan secara manual, menggunakan tenaga manusia. Tak ada bantuan mesin, apalagi robot.
Mulai dari tahap penebangan pohon bakau sampai pendistribusiannya. Setelah kayu bakau terkumpul banyak kemudian kayu tersebut siap untuk dimasukkan ke dalam tungku pembakaran.
Dapur arang yang digunakan oleh para pengrajin terbuat dari tanah liat. Untuk memasukkan kayu bakau diperlukan kurang lebih satu hari.
Dalam satu dapur arang bisa memuat 4 ton kayu bakau. Kayu-kayu itu akan melalui proses pembakaran selama 17 hari nonstop.
Proses pembakaran ini tidak boleh berhenti sampai kayu tersebut benar-benar menjadi arang dan tidak ada yang rusak. Mengetahui bahwa kayu yang dibakar sudah menjadi arang semua adalah dengan melihat pada pintu dapur yang ditutup rapat.
Apabila suhu pintu tersebut sudah mencapai titik panas tertentu, berarti kayu bakau tersebut sudah menjadi arang sepenuhnya. Supaya arang bisa dikeluarkan dari dapur arang, diperlukan proses pendinginan kurang lebih selama 10 hari.
Baca Juga : Mengintip Pesona Wisata Kaltim, Ibu Kota Baru Indonesia
Arang yang telah jadi kemudian dikeluarkan dan dipilih berdasarkan jenis-jenis arang.
Proses terakhir yaitu pengepakan. Untuk pengerjaannya kebanyakan dilakukan oleh para perempuan, kebanyakan adalah ibu-ibu.
Para perajin menjual arang bakau tersebut seharga Rp2.700 per kilogram kapada pengepul arang. Selanjutnya, arang-arang itu akan dibawa oleh toke arang hingga ke negara lain, khususnya Singapura.
Kebutuhan arang di Singapura umumnya memang dipasok dari wilayah Provinsi Kepei. Berdasarkan sejumlah literasi, penjualan kayu arang dari Kepri ke Singapura sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.
Pengiriman arang besar-besaran ke Singapura tercatat pernah dilakukan pada era 1960-an. Besarnya kebutuhan arang di Singapura saat itu sejalan dengan semakin pesatnya pembangunan, dan bertambahnya jumlah penduduk di negara itu.
Foto – Foto Suku Laut di Dapur Arang
*****
Penulis & Foto : Teguh Prihatna