
Barakata.id, Catatan – “Benih tumbuh dalam keheningan, tetapi pohon roboh dengan suara yang hebat. Kehancuran bersuara nyaring tetapi pertumbuhan tidak. Inilah kekuatan dari kesunyian.” Penggalan nasehat diatas adalah kutipan dari kitab Lun Yu karya Kong Hu Cu seorang filsuf sosial tiongkok yang hidup 551 sebelum masehi.
Dalam keriuhan terdapat banyak potensi penghianatan, dalam hiruk pikuk manusia menjadi sulit membedakan mana suara ajakan ke kebaikan dan mana ajakan yang menjerumuskan. Situasi inilah yang penulis lihat dan ketahui sedang berlangsung ditengah-tengah masyarakat kita. Semua ingin menjadi yang paling terkenal, paling didengar , dan paling benar. Bahkan Prof. Rhenad Kasali merincinya dengan dengan teliti dalam bukunya Disruption, bagaimana sebuah serangan yang frontal meluluhlantahkan para pemilik perusahaan besar, tanpa mereka ketahui siapa penyerang-penyerang itu.
Kesenangan masyarakat kita saat ini adalah viral dan kehebohan, merasa tidak ada jika tidak bersuara, tidak jarang bahkan lebih sering melupakan nilai-nilai kemanusiaan asalkan bisa membuat kehebohan. Dibanyak aplikasi media sosial masif kita temukan sebuah peristiwa yang semestinya ditutupi, malah diumbar ke publik yang bertujuan menunjukkan superioritasnya. Tidak ada lagi wilayah pribadi karena kamar tidur bahkan WC pun diumbar ke publik.
Keriuhan ini menjadi indikasi ketidak bertumbuhan kita, tumbuh itu menjadi semakin baik dan hanya terjadi dalam keheningan. Keriuhan yang terus menerus terjadi, menjadi sebuah alasan tumbangnya pohon besar yang sangat tidak diharapkan. Lantas apa yang paling mungkin kita lakukan untuk mempertahankan pohon besar ini?
Menurut penulis paling tidak ada 3 hal yang paling mungkin kita lakukan yaitu:
1. Meluangkan waktu untuk menepi sejenak (introspeksi)
Meluangkan waktu untuk menepi sejenak (introspeksi) adalah tindakan menghindarkan diri dari hiruk pikuk dunia. Tujuan utamanya adalah berdialog, menilai, dan mengevaluasi diri sendiri, sehingga bisa menemukan titik-titik lemah dan menemukan cara perbaikannya. Cara menepi ini hampir dilakukan oleh semua pencari kebijaksanaan, bahkan dalam banyak literatur dapat kita temukan para pemuka agama pun melakukan hal ini. Tidak sedikit cerita-cerita rakyat yang menarasikan penyendirian terencana dari seorang pemuka agama sebelum menemukan atau menyebarluaskan cara mendekatkan diri kepada sang pencipta. Hal ini mengindikasikan bahwa keheningan adalah sahabat sejati manusia dalam menemukan, mengenal dan memantapkan kediriannya, hingga penyatuan dirinya dengan sang pencipta.
2. Mengendalikan suara nyaring (mengenali teman yang baik)
Mengenali suara-suara nyaring menjadi hal yang paling mungkin kita lakukan saat ini. Ditengah perlombaan bersuara nyaring, penulis pikir akan menyelamatkan jika kita mampu mendeteksi mana suara teman dan mana suara yang lain. Teman akan mengantarkan kita pada margin keselamatan, sementara yang lain belum tentu demikian. Kemampuan mendeteksi suara ini akan menjadi lebih mudah jika kita mengenal diri dan kedirian kita. Pengenalan diri ini sering juga diistilahkan kejatidirian. Dengan memiliki jati diri yang jelas, akan membentuk ruang/dimensi parsial yang lebih aman. Ada standar norma yang terus melapisi setiap tindakan baik dalam aksi maupun dalam narasi. Sebab masif terjadi penggunaan narasi yang tidak konstruktif, hanya semata memuaskan nafsu superior belaka.
3. Menemukan kedirian
Menemukan kedirian menjadi variabel yang menentukan dalam memastikan pertumbuhan kita, dan menghindar dari kehancuran. Bertalian dengan poin kedua diatas, setelah pengenalan diri yang jelas, maka kita akan menemukan diri kita pada saat yang tepat, beraksi pada saat yang tepat dengan bangun narasi yang konstruktif. Menemukan kedirian kita berarti memahami kekinian dan kedisinian kita. Sebab tidak mungkin kita menghindar dari perkembangan peradaban yang terus bergulir ini. Problem utamanya adalah terjadinya gradasi identitas, bahkan kekaburan personalitas. Dan sangat mungkin terjadi kesimpang siuran identitas dan personalitas.
Sebagai uraian akhir dari tulisan ini, penulis pikir penting mengkontraskan antara identitas dan personalitas. Secara sederhana identitas itu senantiasa berafiliasi dengan sesuatu, baik itu keturunan, kelompok organisasi, keyakinan agama, hingga etnis tertentu. Misalnya identitas si A itu anak organisasi X, suku Y, penganut kepercayaan Z. Dan hal-hal afiliatif ini hampir semuanya tertera dalam kartu tanda penduduk. Sedangkan Personalitas lebih kepada kediriannya, sifat-sifat yang ditampakkan, karakternya hingga kepada kebiasaan-kebiasaannya. Misalnya si A itu anaknya agresif, dia bertanggungjawab dan dapat dipercaya, dan setiap hari dia berbagi kepada siapa saja yang dia jumpai.
Hening yang sering kita lihat belakang ini adalah hening yang riuh, bahkan dalam satu meja makan pun bisa hening, karena semunya sibuk dengan HP-nya masing-masing. Hening dimeja makan tapi riuh di media sosial. Tanpa disadari terjadi alienasi di antara kita, dari waktu ke waktu. Jika ini terus berlanjut, dan enggan untuk melakukan tiga hal diatas, maka akan segera hadir masa dimana keruntuhan itu akan benar-benar terjadi.
Tulisan ini didedikasikan kepada kekhawatiran akan aporisma pada awal tulisan ini. Negeri ini terlalu sayang jika akan dibiarkan terus-menerus menjadi tempat keriuhan. Ayooo… sisihkan waktu untuk menepi sejenak, agar bisa mengenali suara-suara riuh itu dan kembali pada kedirian kita baik sebagai personal terlebih sebagai bangsa.
Senang bisa mengambil bagian dari barakata, turut dalam mencerahkan wawasan
Terimakasih Pak
Komentar ditutup.