Jakarta – Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi mengugat hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/5/19) tengah malam. Melalui tim kuasa hukumnya, pasangan capres-cawapres nomor urut 02 itu mengajukan 51 alat bukti yang merupakan gabungan dari dokumen dan saksi.
“Ada kombinasi dokumen dan saksi. Ada saksi fakta dan saksi ahli. Baru 51,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Saat menyerahkan apa yang disebutnya sebagai barang bukti itu ke petugas MK, Bambang ditemani Hashim Djojohadikusumo dan Denny Indrayana. Menurut Muhidin, Panitera MK, “alat bukti tersebut akan diverifikasi”.
Muhidin mengatakan, MK akan melakukan berifikasi dari dokumen tersebut, sambil menjelaskan tanggal verifikasi dan penanganan perkara ini dengan putusan pada tanggal 28 Juni mendatang.
“Dan kami catat dalam buku registrasi perkara konsitusi pada tanggal 11 Juni,” katanya dikutip dari BBC News.
“Sejak 11 Juni, dihitung 14 hari kerja, MK mengadili perkara perselihan hasil pemilihan umum yang bapak ajukan di Mahkamah Konstitusi.”
“MK akan menyidangkan pertama kali tanggal 14 Juni, itu disebut pemeriksaan pendahuluan. Selanjutnya pada 17 sampai 21 Juni, itu adalah tahapan pemeriksaan persidangan yang memeriksa substansi pokok perkara dalam permohonan tersebut,” jelas Muhidin.
“Terakhir MK mengagendakan untuk mengucapkan sidang putusan pada tanggal 28 Juni,” tutup Muhidin.
Setelah penyerahan, Bambang mengatakan kepada wartawan bahwa yang mereka serahkan adalah “argumen dan alat bukti yang menjadi pendukung untuk menjelaskan hal itu kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.”
“Kami mendorong, Mahkamah Konsitusi bekerja beyond the law. Indonesia bukan sekedar negara hukum tapi berpucuk kepada kedaulatan rakyat,” tambahnya.
Dia menyebutkan ada delapan orang yang ditunjuk sebagai kuasa hukum dalam pengajuan sengketa hasil pemilihan presiden ini. Bambang menuduh dalam pemilihan presiden terjadi apa yang dia sebut “kecurangan semakin dasyat.”
Bambang juga menuduh perjalanan mereka menuju Mahkamah Konsitutsi “terhambat” karena tidak bisa melewati jalan utama yang “diblokade”.
“Kami putuskan turun dari kendaraan dan jalan ke sini…sempat terbersit pikiran mengapa diblokade, dan jangan sampai access to justice diblokade.”
Dalam jumpa pers sebelumnya, Sandiaga Uno menyatakan dirinya dan Prabowo Subianto menempuh langkah ini “sebagai bentuk tuntutan rakyat Indonesia atas kekecewaan dan keprihatinan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu”.
“Sangat sulit menyatakan pemilu kita sudah berjalan baik, jujur dan adil. Kami mendapat berbagai laporan dari anggota masyarakat yang melihat dengan mata kepala sendiri dan mengalami ketidakdilan yang terjadi selama pemilu kemarin,” tuturnya di kediaman Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (24/5).
Sandiaga kemudian mengumumkan bahwa adik Prabowo, Hasyim Djojohadikoesoemo, ditunjuk sebagai koordinator manajemen tim hukum pasangan Prabowo-Sandiaga.
Baik Sandiaga maupun Hasyim tidak merinci bukti apa yang akan diserahkan ke MK. Hasyim menyarankan agar pertanyaan tersebut diarahkan ke ketua tim hukum, Bambang Widjojanto, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Beliau tahu persis apa yang harus diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi,” kata Hasyim.
Gugatan Prabowo-Sandiaga diajukan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo – Ma’ruf Amin, sebagai pemenang pilpres dengan persentase perolehan suara 55,50 persen pada Selasa (21/5/19) dini hari. Pasangan Prabowo-Sandi menolak hasil tersebut seraya menuding “penghitungan KPU bersumber pada kecurangan”.
Sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, MK membuka layanan penerimaan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum 3×24 jam sejak penetapan perolehan suara oleh KPU.
Direktur Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa bukti-bukti terkait dugaan “kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif” dalam pemungutan suara telah dipersiapkan dengan matang.
Namun ia enggan mengungkap apa saja bukti-bukti tersebut. “Nanti lihat di persidangan saja,” ujarnya kepada BBC News.
Sulit dibuktikan jika selisih suara besar
Terpisah, Mantan Hakim MK, Harjono menyebut gugatan kecurangan hasil Pilpres rawan kandas, jika selisih perolehan suara antarkandidat terlampau jauh.
“Kalau selisihnya besar, sulit dibuktikan. Makanya kan Mahkamah Konstitusi membuat standar, akan memeriksa sengketa pemilu jika perbedaannya sekian persen. Kalau jauh sekali, tidak diperiksa MK,” ujarnya.
Dalam kasus-kasus sengketa yang selisih perolehan suara antarkandidat terpaut jauh, kandidat yang merasa dicurangi biasanya sulit mencari bukti. Lantas, menurut Harjono, kalaupun terbukti ada bukti kecurangan, raihan suara yang didapat dari pembuktian sulit menutup perolehan suara yang diperoleh pihak lawan.
“Sulitnya mencari bukti itu dan juga kalau terbukti, tidak juga bisa menutup pihak lawan,” kata dia.
Sebelumnya, hasil rekapitulasi nasional Pilpres 2019 menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50 persen dari total suara sah nasional. Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 68.650.239 suara atau 44,50 persen. Itu artinya ada selisih 16,9 juta suara.
Meski begitu, Harjono mengatakan jika gugatan kecurangan perolehan suara tetap diajukan maka pihak penggugat harus betul-betul melampirkan bukti yang kuat. Ia mencontohkan salah satu bukti bisa dengan melampirkan formulir C1 yang telah terverifikasi mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga provinsi.
“Bagaimana membuktikan? Di mana letak perbedaan perolehan suaranya? Kalau penghitungan dasarnya ada verifikasi di TPS, lalu naik ke kecamatan, lalu juga di kabupaten dan provinsi. Itu bukti-bukti yang digunakan untuk penjumlahan penghitungan manual,” jelasnya.
“Itu nanti dibandingkan antara yang dipunyai pengadu dan dipunyai KPU. Apakah ada perbedaan dan dicari mana benarnya,” sambung Harjono.
Dasar gugatan lain yang kemungkinan diajukan, menurut Harjono, adalah terjadinya dugaan “kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif” dalam pemungutan suara. Untuk tuduhan “terstruktur” MK menurutnya, memiliki standar tertentu.
“Kalau terstruktur artinya ada suatu maksud yang intens. Bahwa itu akan dilakukan sesuatu yang diinstruksikan dari atas ke bawah. Ada komando dari atas dan di bawah melaksanakan. Artinya organisasi-organisasi yang ada pada sistem pemerintahan,” kata dia.
Sementara “masif”, MK memandangnya terjadi secara sporadis di banyak tempat dan sudah direncanakan dengan matang.
Pembuktian terhadap sangkaan itu, lanjut Harjono, tidak bisa hanya bersandar pada laporan media massa. Pihak penggugat setidaknya harus mengantongi bukti valid dan telah dikonfirmasi kebenarannya. Bisa berupa saksi, dokumen, atau rekaman di media sosial.
“Apapun buktinya harus bukti riil dan terkonfirmasi. Mau dokumen, rekaman asal terklarifikasi secara betul.”
“Kalaupun ada laporan media massa harus sudah dibuktikan, dikuatkan dengan saksi yang mengatakan bahwa apa yang disampaikan media massa itu benar,” tutup Harjono.