Barakata.id, Sebuah halaman facebook milik sahabat saya di Batam (Dwifung…), mengunggah fenomena Seragam Satpam yang akan berganti lagi. Penulis pikir ini sebuah gejala (Fenomena) yang harus diteropong dengan science (Logos). Sebab bagaimana mungkin sebuah keputusan Tingkat Nasional hanya dalam hitungan satu kalender saja, sudah harus berganti lagi.
Masif diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat bahwa sebuah keputusan tidak dibuat dalam hitungan jam, tapi melalui berbagai kajian, hingga harmonisasi sebelum diputuskan. Ada proses perencanaan yang sungguh-sungguh di sana, ada rangkaian kajian multi dimensi, ada penghitungan ekonomis untung rugi atas penggantian warnah kain itu, dan pastinya ada semangat kedirian kita sebagai anak bangsa Indonesia yang memberi sumbangsi atas tegak dan berwibawanya bangsa.
Baca juga: Sekolah Jangan Paksa Murid Beli Seragam Baru
Beberapa data statistical terungkap bahwa jumlah personil Polri tidak jauh dari angka 500.000 personil, sedangkan Satpam tidak kurang dari 1,3 juta personil. Secara matematik mudah kita pahami bahwa kemiripan seragam ini menguntungkan bagi Polri, dalam hal menambah penggelaran fungsi kepolisian di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini secara fenomologis mendeteksi penghematan keuangan negara (tidak perlu menggaji), tapi pencapaian fungsinya tercapai.
Habiburrohman seorang anggota komisi III DPR –RI, dalam sebuah wawancara dengan media elektronik jelas mengungkapkan bahwa belum ada data/informasi yang dimilikinya berkaitan dengan abuse of power, tidak ada satpam yang meras-meras, tidak ada yang sweeping. Secara sederhana minimal ada tiga hal berkaitan Fenomologi Seragam Satpam, dari perspektif kebijakan publik, yaitu ;
Ada dorongan yang kuat dan sungguh-sungguh dari anggota Satpam untuk membuktikan dirinya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas. Seragamnya memberikan pengaruh psikologis tidak hanya kepada peniat pelanggar/kejahatan, tapi juga kepada pencari perlindungan. Penghematan uang negara dalam pencapaian penggelaran fungsi kepolisian di tengah-tengah masyarakat.
Baca Juga : Paradoks Enigmatic Kreativitas Aparatur Sipil Negara
Dorongan yang kuat dan sungguh-sungguh dari anggota Satpam untuk membuktikan dirinya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas, tidak hanya tercermin dari data laporan gangguan Kamtib di lingkungan kerjanya, melainkan dapat juga dibaca dari penampilan mereka yang terus terasa lebih hangat di tengah-tengah masyarakat, minimal kisaran lokasi kerjanya. Situasi ini equivalen adanya rasa “terlindungi / terayomi” dari lingkungan masyarakat sekitar lokasi kerjanya.
Sebuah kawasan pabril/pembuatan kapal di pesisir pantai, secara rutin di kontrol oleh pihak Polsek (titik sambang). Rutinitas ini secara harfia bermakna hanya sekian menit dari waktu 24 jam. Jika seorang akan berbuat kejahatan pada kelompok masyarakat di kawasan itu, hampir dapat dipastikan terlebih dahulu akan mempelajari waktu-waktu sambang pihak kepolisian.
Hal ini kemudian berbeda ketika seragam Satpam yang bekerja di kawasan pablik itu lebih mirip Polisi. Kehadiran warnah Coklat Muda dan tua yang 24 jam berlalu lalang di kawasan itu, akan menjadi hitungan tersendiri bagi siapa saja yang merencanakan tindak kejahatan. Hal ini terjadi karena kalkulasi probabilitas, apakah yang terlihat itu Satpam atau Polisi. Sebab sangat mungkin terjadi dia yang dianggap Satpam ternyata Polisi, meskipun sebaliknya bisa juga terjadi.
Baca juga: 26.037 Seragam Sekolah Gratis Disebar untuk Siswa di Batam
Seragam itu memberikan pengaruh psikologis tidak hanya kepada peniat pelanggar/kejahatan, tapi juga kepada pencari perlindungan. Kelompok masyarakat di kawasan pabrik itu akan merasa kehadiran “Polisi” yang lebih sering, dibandingkan sebelumnya. Situasi ini minimal terlihat disaat pergantian Shift kerja/jaga, akan ada sekelompok berseragam coklat yang datang ke pabrik itu, dan sekelompok yang lainnya meninggalkan kawasan. Jika mereka rata-rata menggunakan sepeda motor, maka akan terlihat konfoi / iring-iringan yang orang-orang yang berseragam coklat melintasi perkampungan penduduk. Tidak sulit untuk membayangkan gesah(daya tekan) yang ditimbulkan atas rutinitas ini.
Penghematan uang negara dalam pencapaian penggelaran fungsi kepolisian di tengah-tengah masyarakat. Secara algorit sederhana, kita bisa menghitung bahwa negara hanya mengeluarkan uang untuk 500.000 an personil polisi, tapi gelaran fungsinya mencapai 1,8 juta orang ( 500 Rb + 1,3 Jt) bahkan sangat mungkin lebih.
Johan Wolfgang Van Goethe mengatakan one must be something in order to do something, jika kita mau melakukan sesuatu maka sebelumnya kita harus menjadi sesuatu terlebih dahulu. Disinilah pentingnya mengenal diri dan kediri.
Pengenalan diri dan kedirian yang baik akan melahirkan situasi yang kondusif. Ketika Kepolisian mengenal kediriannya sebagai organisasi pembina terhadap pengemban fungsi-fungsi kepolisian terbatas, maka berbagai sempalan argumen minor akan mudah ditanggapi secara argumentatif. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa apapun itu akan selalu ada pro dan contra disana. Kepolisian yang presisi, baik secara akronim maupun secara literal, akan tetap menjadi pilar utama dalam pengamanan dan keamanan masyarakat Indonesia. ****