
Barakata.id, Catatan – Data pada Badan Pusat Statistik (BPS) per tanggal 25 Februari 2022 memperlihatkan peningkatan 53.50% kasus perceraian tahun 2021 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dan setelah penulis buka lebih jauh, ternyata 75,34 % gugatan diajukan oleh isteri.
Ketidak mampuan mempertahankan kedirian penulis pikir menjadi variabel utama gagalnya sebuah rumah tanggal. Secara faktual mempertahankan kedirian itu adalah aktifitas yang memang tidak mudah ditengah gempuran pragmatisme dan banjir informasi. Hanya orang yang mementingkan dirinyalah yang dapat bertahan dan mempertahankan rumah tangganya.
Setiap saat ketika sepasang suami isteri melakukan aktifitasnya masing-masing, akan mendapati berbagai situasi yang mengguncang eksistensi mereka. Sebagai contoh penulis dapat potretkan banjir informasi tentang tawaran akan fasilitas hidup dalam sebuah kompleks perumahan berkelas premium. Sangat sedikit orang yang dapat bertahan dari gempuran bujuk rayu iklan tentang kenyamanan fasilitas itu. Dalam kondisi inilah sepasang suami isteri yang tidak egois akan terhanyut dalam bujukan iklan-iklan itu, dan terjebak dalam fenomena asimilasi.
Fenomena asimilasi bermula dari meniru orang lain, yang berakibat lupa akan latar belakang budayanya. Hingga sampai pada taraf opsesif yaitu penolakan terhadap dirinya bahkan terasing dari realitasnya. Akibat selanjutnya adalah lahirnya individu palsu atau manusia gadungan yang tidak punya identitas lagi. Hidupnya hanyalah mengikuti kehendak orang lain, karena takut dibilang egois atau tidak gaul. Dan pada puncaknya akan melahirkan kaum sok pemikir, pamer kepintaran, tanpa menyumbangkan apapun untuk masyarakat.
Sigmund Freud seorang pendiri aliran psikoanalisis, menerangkan Id,Ego dan Super Ego berelaborasi dalam menciptakan pola perilaku manusia. Ketika Id memberi tuntutan alamiah, Ego membataasinya dengan realitas, dan Super Ego memperkuatnya dengan nilai-nilai moral pada setiap tindakan yang dipilih.
Egoisme secara konseptual, lebih dimaknai sebagai tidak peduli dengan orang lain. Dalam bahasan yang lebih teoritis Egois yang kemudian lazim juga disebut Egosentris merupakan rumusan ideal yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat, paling penting dan utama. Jika penulis rumuskan dengan lebih sederhana premisnya akan berbunyi “Egoisme adalah paham mementingkan diri sendiri” Bertolak dari premis ini, penulis akan menunjukkan betapa Egoisme ini menjadi benteng terakhir pertahanan sebuah rumah tangga.
Secara konseptual egoisme lazimnya terkategorikan menjadi dua, yakni;
1. Egoisme Etis
Perilaku yang paling bermoral adalah perilaku yang menguntungkan dirinya sendiri. Artinya ketika melakukan sesuatu dan menguntungkan diri sendiri maka itulah tindakan etis.
a. Act selfitly ; bertindaklah sesuai selera atau keinginanmu.
b. Act in our self interest ; lakukan sesuatu yang akhirnya menguntungkanmu.
Asumsi dasar Egoisme
a. Manusia tidak memiliki kewajiban alami, apapun yang dilakukannya sebenarnya hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Misalnya dalam hal berkata jujur, itu dilakukan karena menganggapnya baik, dan sebuah dosa jika tidak jujur. Pilihah berkata jujur agar terhindar dari dosa itu sebuah pemenuhan keingin diri sendiri, yaitu keinginan diri terlepas dari perasaan berdosa.
b. Manusia tidak memiliki kewajiban moral; artinya apa yang baik untuk diri sendiri, maka itulah yang wajib untuk dilakukan. Prinsip dasarnya hanya satu yaitu apa keingin dan harapan dalam hidup, maka penuhilah itu. Jika keinginan dan harapan itu sudah terpenuhi, maka itu sudah etis. Tidak sedikit orang berbuat seolah-olah baik hanya sebagai sublimasi/topeng saja, padahal dalam hakekat dirinya itu semua untukya sendiri. Jika ia melakukan hal baik, maka semua pujian dan sanjungan akan di nikmatinya sendiri.
c. Perduli kepada orang lain hanyalah sebuah sebab dari hasil untuk diri sendiri. Semisal menolong orang kecelakang, itu semua dilakukan untuk pemenuhan keingin diri, baik keinginan untuk mendapat pengakuan/sanjungan dari orang sekitar, maupun pemenuhan keinginan terhindar dari rasa bersalah. Contoh lain bisa dilihat dizaman perjuangan kemerdekaan, semua pejuang menyatukan diri untuk melawan penjajah karena meyakini dengan tidak adanya penjajah maka keinginan/kebutuhannya sebagai individu akan lebih mudah terpenuhi.
2. Egoisme Psikologis
Egoisme Psikologis lebih menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri(selfish). Pada pandangan ini Thomas Hobbes dan Fredrich Nietzsche mendominasi penjelasan akan hal ini. Tindakan yang mementingkan diri sendiri adalah tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kepentingan sendiri. Intinya apapun tindakan manusia itu untuk kepentingannya sendiri.
Kehancuran sebuah rumah tangga selalu bermula dari melupakan diri sendiri dan bertindak mementingkan orang lain (altruis).
Ketika sebuah informasi negative diterima oleh satu diantara pasangan, maka lebih sering daripada tidak penerima informasi itu berfikir tentang “orang akan berkata apa jika hal ini menyebar”.
Dari suara dibenaknya inilah yang kemudian memicu ketegangan dan terus membesar. Hal itu semata karena keingin memuaskan orang lain, memenuhi espektasi orang lain, hingga lupa bahwa dirinyalah yang paling mengetahui hal tersebut.
Keinginan memenuhi harapan orang lain inilah yang menjadi penyebab berakhirnya sebuah rumah tangga. Kondisi yang terlalu memikirkan orang lain (Altruisme) berakibat buruk pada diri sendiri dan keberlangsungan hidup berumah tangga.
Uraian sederhana diatas menunjukkan betapa keegoisan bisa menjaga keutuhan rumah tangga. Jika penerima informasi itu mengutamakan kepentingan dirinya, maka suara yang akan bunyi dalam benaknya adalah “saya hanya perduli dengan diriku, tidak pada kalian”.
Sebagai uraian akhir penulis menyederhanakan judul tulisan ini, sehingga berbunyi, “Egoislah agar rumah tangga anda bertahan hingga akhir usia” atau akan berbunyi “Manajemen mempertahankan rumah tangga dengan metode egois”.
Baca artikel menarik lainnya di : Catatan Dr.Surianto