
Barakata.id – Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru yang dikenal di seluruh dunia resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada 19 Januari 2023 lalu.
Padahal, sepak terjang Jacinda Ardern memimpin Selandia Baru selama empat tahun terakhir telah banyak di akui, terutama para wanita di seluruh dunia.
Ardern dikenal sebagai Perdana Menteri Wanita Termuda di dunia saat dilantik pada tahun 2017. Kala itu usianya baru menginjak 37 tahun.
Selama masa jabatannya, Ardern mengalami banyak tantangan khususnya pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir.
Ardern juga menangani kasus besar lain seperti penembakan masjid Christchurch pada 2019.
Ardern dikenal sebagai sosok politisi yang berkampanye untuk membebaskan sebagian pendidikan tinggi, mengatasi kemiskinan anak dan mendekriminalisasi aborsi.
Juga, vokal dalam menyerukan seksisme yang terang-terangan dalam politik.
Namun dalam pidato pengunduran dirinya, Ardern mengaku ingin menghabiskan banyak waktu bersama keluarga yang membuat para pengamat menjulukinya ‘seksis’.
“Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini. Dan saya tahu bahwa saya tidak lagi memiliki cukup tangki untuk melakukannya dengan adil,” kata Ardern, dikutip dari Reuters.
Sayangnya, keputusan Ardern mengundurkan diri berdampak pula bagi kaum perempuan.
- Baca juga: 8 Tips Perempuan Sukses Berpolitik
Sebab, selama ini tak banyak wanita yang bisa menembus posisi teratas untuk menjadi pemimpin sebuah negara.
Masyarakat kerap kali memposisikan pemimpin wanita dengan berbagai pertanyaan seksis yang tidak dimiliki seorang pria.
Ardern pun mengalami pengalaman misogini ketika dirinya resmi mengumumkan pengunduran diri.
Kantor berita terkemuka BBC menulis berita dengan judul kontroversional: “Jacinda Ardern: Bisakah Wanita Memiliki Semuanya?”
Judul tersebut membawa kemarahan publik karena dinilai seksis, menghina, dan meremehkan seorang wanita.
Terlebih artikel tersebut menyinggung karena Ardern adalah seorang ibu pekerja yang memiliki anak kecil, dia tidak dapat mengatasi tanggung jawabnya.
Alhasil, mundurnya Ardern semakin memojokkan posisi perempuan yang ingin terjun dalam politik karena gendernya.
Meski mengalami berbagai tudingan miring karena dianggap ‘kelelahan’ dalam memimpin Selandia Baru, namun perjuangannya tetap memiliki dampak baik bagi perempuan.
Contohnya pada tahun 2018 lalu, Ardern mengingatkan dunia bahwa menjadi ibu tidak pernah menjadi penghalang untuk menjadi pelayan publik.
Ardern membuat sejarah dengan keputusannya membawa sang bayi ke Majelis Umum PBB pada tahun 2018, di New York. Aksinya ini mencerminkan perlawanan feminis yang disengaja terhadap budaya normatif PBB yang maskulin.